Selasa 12 Mar 2019 13:09 WIB

Awal Mula Imam Syafii Menekuni Ilmu Fikih

Imam Syafii berjumpa dengan ulama ini yang mengharapkannya menekuni fikih.

Peziarah melihat makam Imam Syafi’i di Kairo, Mesir.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Peziarah melihat makam Imam Syafi’i di Kairo, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Doa dan hikmah dari Allah SWT bisa datang melalui lisan orang-orang salih. Hal itu tercermin dari kisah mula-mula Imam Syafii menekuni ilmu fikih.

Seperti diceritakan dalam Ensiklopedia Imam Syafi'i (2008). Sosok yang bernama asli Muhammad bin Idris itu mengawali pendidikannya dengan belajar Alquran, hadits, serta bahasa dan sastra Arab. Dalam usia yang masih belia, dia bahkan sudah mampu menggubah bait-bait syair yang indah. Hal itu lantaran ketekunannya dalam mempelajari puisi Arab.

Baca Juga

Saat itu, dia sudah tinggal di Makkah. Suatu hari, pemuda ini sedang mendaki Bukit Mina. Tujuannya untuk mencari suasana yang pas agar bisa menulis syair dengan baik.

"Tiba-tiba ada suara menyeru di belakangku, 'Kamu harus menguasai fikih,'" kenang Imam Syafii.

Peristiwa lainnya lebih mengokohkan tekadnya mendalami fikih. Kelak, kepakarannya dalam bidang ini seperti mengungguli ketenaran namanya sendiri dalam bidang ilmu hadits.

Masih dalam usia belia, Muhammad bin Idris suatu kali sedang berjalan-jalan di Makkah. Saat itu, dia sedang menuju ke tempat salah seorang gurunya untuk belajar tata bahasa dan sastra Arab.

Tanpa disangka, dia berpapasan dengan Muslim bin Khalid az-Zanji. Mubaligh senior itu berjulukan "ahli fikihnya seantero Makkah." Gurunya antara lain ulama tabi'in yang kharismatik, Atha bin Abi Rabah. Sanadnya sampai ke sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Abbas.

Begitu melihat Muhammad bin Idris, Imam Muslim menyapanya, "Hai anak muda, dari mana engkau berasal?"

Yang ditanya pun menghentikan langkahnya--dan juga senandung syair-syair Arab yang sedang dihafalkannya sepanjang perjalanan. "Asalku dari keturunan orang Makkah," kata Ibnu Idris.

"Di mana rumahmu?" tanya Imam Muslim lagi.

"Perkampungan al-Hanif," jawab Muhammad.

"Kabilah apa?"

"Kabilah 'Abd Manaf."

"Alhamdulillah, bagus, bagus," timpal Imam Muslim, "Sungguh Allah telah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Andai engkau menggunakan kecerdasanmu untuk belajar fikih, maka hal itu akan lebih baik bagimu."

Kata-kata ulama besar itu tertanam dalam diri Imam Syafiii muda. Kalaupun hanya disapa seorang Imam Muslim, tentunya sebuah kebahagiaan bagi pemuda ini. Namun, tidak hanya disapa, dia bahkan juga didoakan dengan tulus. Doa yang sungguh menyentuh hati.

Sejak saat itu, Muhammad bin Idris alias Imam Syafii kian mantap dan serius dalam menekuni ilmu fikih.

Pertama kali belajar fikih kepada Imam Muslim dan kemudian Sufyan bin 'Uyaynah. Tentang keutamaan ilmu fikih ini, sosok yang tersebut akhir itu mengatakan, "Kenabian merupakan anugerah Allah yang paling mulia. Anugerah yang paling mulia setelah kenabian adalah ilmu dan fikih. Adapun anugerah Allah yang paling mulia di akhirat adalah rahmat."

Momentum lain yang mengubah jalan hidupnya adalah pertemuannya dengan Imam Malik bin Anas, seorang mahaguru yang tinggal di Madinah. Syafii muda telah lama bercita-cita, dapat berjumpa langsung dengan Imam Malik dan menimba ilmu darinya. Bahkan, sekadar memiliki kitab karyanya, al-Muwaththa', itu pun sudah membuatnya sangat gembira.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement