Selasa 05 Mar 2019 14:12 WIB

Bang Imad dan Perjuangan Mendirikan Masjid Salman ITB

Almarhum Imaduddin Abdulrahim alias Bang Imad ikut dalam pembangunan Masjid Salman.

Imaduddin Abdulrahim
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
Imaduddin Abdulrahim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tulisan sebelumnya, telah dipaparkan bagaimana 'Imaduddin Abdulrahim alias Bang 'Imad tetap bertahan di ITB, alih-alih pulang kampung, untuk ikut berkontribusi dalam dunia dakwah dan keilmuan di Bandung. Dalam pada itu, para akademisi Muslim setempat sedang menghadapi persoalan yang sama. Mereka ingin hadirnya masjid di tengah-tengah lingkungan kampus tersebut.

Baca juga: Sesepuh Masjid Salman ITB, Bang Imad, dan HMI

Baca Juga

Konteks waktu saat itu adalah Orde Lama. Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang mendompleng popularitas kepemimpinan Presiden Sukarno. Karena itu, kelompok-kelompok yang alergi terhadap Islam merasa sedang di atas angin.

Keadaan kian parah setelah Bung Karno mulai terperosok ke dalam perilaku otoriter. Pada 5 Juli 1959, misalnya, dia menetapkan dekrit yang memberlakukan lagi UUD 1945. Akibatnya, Konstituante—lembaga demokratis yang berfungsi merumuskan konstitusi baru pengganti UUD-Sementara 1950—dibubarkan paksa.

 

Puncaknya, MPR-S--yang pembentukannya sarat intervensi--menetapkan Sukarno sejak 18 Mei 1963 sebagai presiden seumur hidup. Sebelumnya, pada 1956 Mohammad Hatta meletakkan jabatan selaku wakil presiden. Bung Hatta merasa, Sukarno tidak lagi mendengarkannya.

Bagi umumnya aktivis Muslim pada masa itu, pelbagai peristiwa politik nasional menyebabkan kesukaran tersendiri. Khususnya bagi Bang 'Imad, ayahandanya yang anggota Konstituante kian jarang ke Jawa untuk mengikuti rapat-rapat politik.

Untuk mengatasi krisis keuangan, Bang ‘Imad yang kala itu masih mahasiswa terpaksa mengambil pekerjaan sampingan sebagai guru SMP swasta. Nilai-nilai akademisnya sempat anjlok karena terlampau sibuk di luar kampus.

Untungnya, dia sudah berpasangan dengan gadis pujaan hati, Nur’aini, putri seorang kiai asal Maninjau, Sumatra Barat. Pada 1954, keduanya menikah secara sederhana saat Bang ‘Imad masih mahasiswa di ITB.

 

Upaya Bersama Mewujudkan Masjid

Suasana suram masih menyelimuti pergerakan dakwah di kampus. Apa daya, ITB pada dasawarsa 1960-an lekat dengan predikat “sekuler.” Bahkan, mahasiswa yang mengenakan simbol-simbol Islam cenderung dicap terbelakang.

Warga ITB yang hendak shalat Jumat harus jauh-jauh berjalan ke Jalan Cihampelas. Meskipun kehadiran masjid sebuah kebutuhan yang jelas, rektor ITB saat itu, Prof Otong Kosasih, masih tampak ragu-ragu.

Kalangan aktivis Muslim tidak gamang. Pada 1958, Prof Tubagus Sulaiman membentuk Panitia Pembina Masjid ITB. Di dalamnya, duduk para insan aktivis dan tokoh Muslim setempat. Misalnya, Bang ‘Imad, Achmad Sadali, dan Mahmud Junus.

Mereka menggalang dukungan dari rupa-rupa pihak yang berkompeten. Meski tanah lokasinya belum dipastikan, gambar desain masjid itu sudah dibuat dengan baik oleh Ir Ahmad Noe’man.

Pada 1963, kepanitiaan ini menghadap Presiden Sukarno yang didampingi menteri agama waktu itu, Saifuddin Zuhri. Hadirin antara lain Prof Sulaiman, Ir Achmad Noe’man, Achmad Sadali, dan Ajat Sudrajat. Bung Karno akhirnya merestui pendirian rumah ibadah itu. Obrolan lalu berlanjut pada soal nama yang hendak dipakai.

“Siapa itu sahabat yang menggali parit pada saat Perang Khandaq?” tanya Presiden Sukarno sambil menoleh pada Menteri Agama. Yang ditanya pun menjawab sigap, “Salman al-Farisi.”

“Nah itu,” kata Bung Karno, “Masjid ini saya namakan: Salman!”

Sumber lainnya berasal dari buku yang disunting Jimly Asshiddiqie dkk, Bang ‘Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya (2002). Pada 1963, kepanitiaan berubah bentuk menjadi Yayasan Pembina Masjid Kampus ITB.

Di dalamnya, Bang ‘Imad bertindak sebagai sekretaris. Satu tahun kemudian, desain masjid ini sengaja dimasukkan di antara karya-karya yang hendak dipamerkan dalam ekshibisi seni rupa di ITB.

Acara ini dihadiri Bung Karno, yang kemudian melihat desain karya Ir Ahmad Noe’man tersebut. Karena sama-sama insinyur, Kepala Negara menemukan keunikan dalam gambar ini: rancangan kubah menghadap ke atas.

Presiden pun bertanya, sketsa itu untuk bangunan apa. Prof Sulaiman yang mendampinginya menjawab, itu adalah gambar Masjid ITB yang akan dibangun. Harapan warga kampus, lanjut guru besar itu, kelak masjid tersebut akan mencetak kader-kader teknokrat yang imannya setangguh Salman al-Farisi.

Mengapa Salman? Karena dialah sang insiyur kunci dalam Perang Khandaq yang juga sahabat Nabi SAW. Parit pertahanan yang dibangun tokoh asal Persia itu terbukti jadi faktor kunci dalam kemenangan kaum Muslimin di Perang Khandaq.

Apalagi, Presiden Sukarno sendiri gemar mengutip nama Salman al-Farisi dalam beberapa pidatonya. Bung Karno pun bertanya, kapan realisasi pembangunan masjid itu. Sulaiman menjawab, hal itu tinggal menunggu restu Kepala Negara.

photo
Masjid Salman ITB

Singkat cerita, RI-1 merestuinya. Sukarno melalui menteri perindustrian turut menyumbang seribu sak semen. Dia pun memaklumkan lokasi pendirian Masjid Salman yakni kompleks tanah yang masih dalam area ITB. Terkait kesiapan lahan itu, nama lain yang turut berjasa adalah aktivis Dewan Mahasiswa (Dema), Muslimin Nasution (1953-2012).

Proses penyelesaian rumah ibadah ini memakan waktu yang cukup panjang, sebagai dampak masa transisi yang penuh prahara Orde Lama ke Orde Baru. Saat yang ditunggu pun tiba. Pada 5 Mei 1972, Masjid Salman ITB untuk pertama kalinya menyelenggarakan shalat Jumat. Sejak saat itu, inilah markas baru pergerakan dakwah Islam di Indonesia.

Baca juga: Bang Imad, Pak Natsir, dan Aktivisme Muslim Global

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement