Jumat 01 Mar 2019 16:05 WIB

Ini Argumentasi NU Mengenai Kata Kafir Harus Dihindari

Kata kafir tidak pantas digunakan dalam konteks kebangsaan.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Munas NU. Ribuan warga Nahdlatul Ulama (NU) hadir pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Munas NU. Ribuan warga Nahdlatul Ulama (NU) hadir pada acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR – Status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Bahtsul Masail Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019. Peserta Bahtsul Masail menilai Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya. 

Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara, yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis, bahkan agama. Hal ini selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW  dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. 

Baca Juga

Piagam Madinah itu menegaskan, seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa/umat, yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya, tanpa diskriminasi.

Hal tersebut terungkap dalam Sidang Pleno Munas-Konbes NU 2019, Kamis (28/2). Hasil putusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah dibacakan KH Abdul Moqsith Ghazali di hadapan forum.

Dalam sidang komisi, Abdul Moqsith mengatakan, kata kafir sering kali disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri. 

Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia. “Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata Abdul Moqsith yang menjabat sebagai wakil ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di arena Munas dan Konbes NU pada Jum'at (1/3).

Peserta Bahtsul Masail menyepakati tidak menggunakan kata kafir, akan tetapi menggunakan istilah muwathin yang berarti 'warga negara'. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan non-Muslim di dalam sebuah negara. “Dengan begitu maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” ujarnya.

Meski demikian, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Penyebutan kafir terhadap non-Muslim di Indonesia rasanya tidak bijak. “Memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain Negara Indonesia rasanya kurang bijaksana,” kata Kiai Moqsith.

Pembahasan ini dilakukan mengingat masih adanya sebagian warga negara lain yang mempersoalkan status kewargaan yang lain. “[Mereka] memberikan atribusi teologis yang diskriminatif dalam tanda petik kepada sekelompok warga negara lain,” katanya.

Pembahasan ini dihadiri oleh Mustasyar PBNU Prof Muhammad Machasin, Rais Am Syuriyah PBNU KH Miftahul Akhyar, Rais Syuriyah KH Masdar Farid Masudi, KH Subhan Ma’mun, Katib ‘Aam Syuriyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Katib KH Abdul Ghofur Maimun Zubair dan H Asrorun Niam Sholeh, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Ketua PBNU H Marsudi Syuhud, hingga Sekretaris Jenderal PBNU H Helmi Faishal Zaini. 

Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah juga membahas soal pandangan Islam dalam menyikapi bentuk negara-bangsa dan tentang produk perundangan atau kebijakan negara yang dihasilkan oleh proses politik modern.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement