Pulang dari Tanah Suci, KH Abbas semakin dihormati masyarakat. Dia pun tidak putus melanjutkan menuntut ilmu, seperti di Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asyarie. Pada saat itu, dia ikut mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri bersama dengan KH Wahab Hasbullah dan KH Manaf.
Selanjutnya, KH Abbas mulai memegang tampuk pimpinan Pondok Pesantren Buntet di kampung halamannya. Dia mengajak seluruh anggota keluarga besarnya untuk ikut membangun lembaga ini, terutama sebagai pengajar. Santri-santrinya berasal dari berbagai penjuru daerah.
Ciri khas Pesantren Buntut juga menjadi acuan bagi pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, khususnya tasawuf. Di sini, demikian menurut Saifullah (2008), ada dua tarekat yang berkembang, yakni Tijaniyah yang disebarkan KH Anas Buntet dan Syatariyah yang diajarkan KH Abbas. Sosok yang pertama itu merupakan adik kandung KH Abbas.
Bagaimanapun, kedua cabang tasawuf itu sama-sama diakui sebagai bagian dari tradisi pesantren tersebut. Bahkan, kedudukan KH Abbas tergolong istimewa. Sebab, dia merupakan mursyid tarekat Syatariyah dan sekaligus muqoddam tarekat Tijaniyah. Hal ini menandakan luasnya pengetahuan dan corak pemikiran sang kiai yang terbuka sekaligus kritis. Demikian hasil riset Yuli Yulianti dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014).
Selain itu, KH Abbas juga menjadikan Pesantren Buntet lebih maju. Dia menerapkan dua metode pengajaran, yaitu cara formal berupa madrasah dan pola-pola tradisional.
Dualisme sistem ini mulai efektif menjelang 1930. Di luar pendidikan, KH Abbas juga menjadikan pesantren ini wahana peningkatan kesejahteraan masyarakat. Para santri diajarkan keterampilan berwirausaha, semisal membatik atau teknik pertanian. Seperti ditunjukkan M Rizki Tadarus dalam risetnya untuk UIN Sunan Kalijaga (2016), sang kiai juga membuat dapur umum untuk keperluan warga sekitar.