Jumat 22 Feb 2019 14:40 WIB

Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (3)

Di Kairo, Sayyid Qutb mulai aktif dalam dunia sastra dan kepenulisan umumnya

(ilustrasi) Sayyid Qutb
Foto: tangkapan layar google image
(ilustrasi) Sayyid Qutb

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat berusia 15 tahun, Sayyid Qutb hijrah dari desanya ke Kairo. Di pinggiran ibu kota Mesir itu, dia tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Utsman.

Sang paman adalah seorang lulusan Universitas al-Azhar yang bekerja sebagai guru dan wartawan. Empat tahun lamanya Sayyid Qutb hidup menumpang kepadanya sambil melanjutkan sekolah menengah.

Pada 1928, dia lulus dan segera mendaftar pada Tajhiziyat Darul ‘Ulum, untuk mempersiapkan diri ke Universitas al-Azhar. Dalam masa tinggal di Kairo, Sayyid Qutb cukup produktif menulis dan membaca karya-karya sastra.

Kumpulan puisi dan esainya mulai muncul sekira awal 1920-an di sejumlah media, utamanya al-Hayat al-Jadidah dan al-Balagh. Kecenderungan tulisan-tulisannya memihak pada pergerakan modernis, antara lain mazhab sastra Diwan yang dipunggawai Abbas Mahmud al-

 

Aqqad. Pada faktanya, paman Sayyid Qutb dan al-Aqqad sama-sama anggota pada Partai Wafd yang berhaluan modern. Tidak jarang Sayyid Qutb menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi al-Aqqad setiap dia dan Husain Utsman bertamu.

Bagi Sayyid Qutb, sosok al-Aqqad merupakan “gerbang” menuju pemikiran terbuka. Sebagai sastrawan sekaligus aktivis partai, al-Aqqad berideologi dan standar kesastraan yang teguh.

Atas sarannya pula, Sayyid Qutb berkonsen pada bentuk sastra prosa, alih-alih sajak yang khas budaya Arab-Mesir. Sayyid Qutb juga mulai giat membaca karya-karya sastra dari Barat, utamanya genre novel, puisi modern, dan drama, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Lebih lanjut, dia semakin memperluas cakrawala dengan melahap buku-buku Barat tentang psikologi, teori evolusi, biologi, kimia, dan sains, semisal teori relativitas Einstein. Pada 1932, saat masih berstatus murid di Darul ‘Ulum, dia menerbitkan karya penting pertamanya mengenai kritik sastra, Muhimmat asy-Syair fi al-Hayah.

Menurut Musallam dalam disertasinya untuk University of Michigan (1983), Sayyid Qutb memandang fungsi sastra sebagai penghubung antara apa-apa yang seharusnya dan yang senyatanya terjadi. Sastra juga mendekatkan manusia pada tujuan yang luhur.

Dia berseberangan dengan ideologi “sastra untuk sastra.” Sayyid Qutb menegaskan, seorang sastrawan dengan kebebasan yang dimilikinya semestinya peka terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya.

Akan tetapi, jelas Musallam, dia masih seturut dengan aliran romantik yang memandang seorang penyari berkedudukan lebih mulia ketimbang massa tanpa harus berjarak dengan mereka.

Pada 1935, Sayyid Qutb menerbitkan antologi sajak-sajaknya yang telah tersebar di pelbagai media. Kumpulan puisi itu diberinya judul al-Syati’ al-Majhul (Pesisir yang tak ternamai). Buku itu didominasi tema eksistensial manusia yang gelisah akan makna hidup dan kematian.

Baca juga: Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (4)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement