Selasa 12 Feb 2019 06:30 WIB

Syekh Hamzah Fansuri, Bapak Bahasa dan Sastra Melayu

Prof Abdul Hadi WM menggelarinya Bapak Bahasa dan Sastra Melayu

hamzah fansuri
Foto:
Kitab tasawuf (ilustrasi).

Prof Abdul Hadi WM dalam Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (1999) menerangkan, Syekh Hamzah Fansuri merupakan mursyid Tarekat Qadiriyah. Jalan tasawuf itu, yang diinisiasi Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166), mulanya berkembang di Tanah Air seiring masuknya organisasi dagang (ta’ifa) ke Asia Tenggara pada abad ke-16.

Pertemuan Hamzah Fansuri dengan ajaran Qadiriyah patut diduga terjadi di Syahr Nawi (Ayuthia), ibu kota Kerajaan Siam. Drewes dan Brakel menyimpulkan itu setelah menafsirkan salah satu sajak karya syekh tersebut yang berbunyi, “Hamzah nin asalnya Fansuri/Mendapat wujud ditanah Shahr Nawi.”

Istilah wujud itu bukan berarti “mendapatkan wujud fisik” atau “dilahirkan secara fisik”, sebagaimana anggapan al-Attas (1966). Sajak itu mesti diinterpretasi secara sufistik, yakni melihat penggunaannya di berbagai tempat. Misal, sajak lainnya dari pengarang yang sama: “Rahman itulah yang bernama Wujud/Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud.”

Dengan demikian, “mendapat wujud ditanah Shahr Nawi” berarti Hamzah Fansuri memeroleh suatu pengalaman mistik di sana. Sang salik juga seorang pengelana. Hal itu tampak dari bait sajaknya, “Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah/Di Barus ke Quds terlalu payah/Akhirnya dapat di dalam rumah.” Beberapa sumber membenarkan, Hamzah Fansuri pernah berguru pada Maulana Ibrahim di Makkah. Adapun tentang “Di Barus ke Quds”, menurut Drewes dan Brekel, tidak berarti sang penyair pernah menempuh perjalanan ke Quds (Kudus, Jawa Tengah).

 

Gagasan Qadiriyah

Besarnya pengaruh Qadiriyah dalam jalan hidup cendekiawan tersebut diakuinya sendiri: “Beroleh khilafat ilmu yang ali/Daripada Syekh Abdul Qadir Jilani.” Gagasan-gagasan inti tarekat tersebut terkandung dalam syair-syair Syekh Hamzah Fansuri. Di antaranya adalah cinta (‘isyq). Menurut Abdul Hadi WM, cinta merupakan tema sentral sastra sufi.

Satu kitab karangan Hamzah Fansuri bahkan berjudul Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Pencinta yang Berahi). Ungkapan “berahi” diterjemahkan sebagai suatu ketertarikan—atau bahkan mabuk—akan “anggur tauhid", minuman para salik pencinta. Lebih lanjut, ‘isyq juga merupakan fase pengalaman kerohanian puncak yang dapat dicapai seorang sufi. Untuk sampai ke sana, seseorang perlu menyadari betapa dirinya sendiri tidak berarti; betapa dirinya rendah.

Kesadaran itu kemudian membawa orang tadi pada perasaan fana’ dan baqa’ di dalam Kekasihnya (mahbub). Di situlah dia kembali pada keberadaannya yang fitrah dan hakiki. Hati orang yang mengalami ‘isyq akan selalu tertarik pada Tuhan, sehingga tidak lagi terpaut pada dunia.

Dalam ikatan-ikatan sajaknya, Hamzah Fansuri kerap menggambarkan Sang Kekasih sebagai "penjual minuman yang memabukkan" (saqi). Saqi itu hadir untuk menawan hati sang ‘asyiq. Bila cinta berbalas, lanjut Abdul Hadi, maka seorang ‘asyiq mesti bersedia mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi meraih cinta Kekasihnya yang satu itu.

Adanya tamsil “anggur” atau minuman memabukkan jelas menunjukkan pengaruh gaya sastra sufi Persia. Bagaimanapun, Abdul Hadi mendeteksi adanya kekhasan Melayu dalam karya Hamzah Fansuri. Sebagai contoh, penyair Persia umumnya memakai tamsil “anggur” dan “piala anggur”. Dua hal itu kemudian diganti sang syekh dengan tamsil “arak” dan “takir” (tempat minum air tape dari daun pisang). Itu tersirat dalam satu bait karyanya ini: “Kekasih itu bukannya sahir/Ke tengah pekan datangnya zahir/Berjual arak di dalam takir/Itulah ‘asyiq mabuknya sakir.”

sumber : Islam DIgest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement