Setelah masuk Islam, ia menjadi figur yang begitu mencintai Nabi SAW. Sebelum Perang Badar, Amr bin al-Jamuh bersikeras ikut dalam pasukan Muslimin. Namun, anak-anaknya mengimbau agar ia tidak perlu berangkat lantaran faktor kesehatan. Mereka pun meminta hal yang sama kepada Rasulullah SAW.
Sebab, Amr bin al-Jamuh saat itu telah berusia uzur, tubuhnya mulai lemah, dan kakinya pun pincang. Nabi SAW memerintahkan Amr bin al-Jamuh agar tetap di Madinah. Betapa sedih hati Amr, namun ia tetap melaksanakan perintah itu. Ia melepas kepergian anak-anaknya dengan haru ke medan Perang Badar. Dalam pertempuran itu, Mu'adz bin Amr berhasil melumpuhkan pentolan kafir Quraisy, Abu Jahal.
Jauh kemudian, menjelang pecahnya Perang Uhud, Amr bin al-Jamuh memohon kepada Rasulullah SAW agar kali ini diperkenankan ikut. Anak-anak Amr pun membujuk ayahnya itu agar tetap di rumah lantaran kondisi fisiknya yang renta.
Nabi SAW menjawab, Allah telah memberimu keringanan. Tidak mengapa bagi kalian (anak-anak Amr) bila kalian membiarkannya berangkat, semoga Allah memberinya mati syahid. Mendengarnya, Amr begitu bersuka cita. Demi Allah, aku ingin menginjakkan kaki pincangku ini di surga, serunya dengan suara bergetar.
Maka berangkatlah Amr bin al-Jamuh bersama istri dan anak-anaknya serta seorang hamba sahaya ke medan Perang Uhud. Dalam kecamuk perang itu, Amr bin al-Jamuh tewas di tangan tokoh kafir Quraisy, al-Aswad bin Ja'wanah. Demikian pula dengan putra Amr, yakni Khallad bin Amr bin al-Jamuh. Ketika akhirnya peperangan usai, Hindun, istri Amr bin al-Jamuh datang mendekati jasad suami dan anaknya itu. Lantas, perempuan pejuang ini mengangkat dua jasad tersebut dan jasad seorang saudaranya ke atas untanya. Kemudian, ia ikut rombongan kembali ke Madinah.