Kamis 29 Nov 2018 14:00 WIB

Menjadi Negarawan Lewat Shalat

Shalat bukanlah sekadar gerakan-gerakan tanpa makna

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Shalat bukanlah sekadar gerakan-gerakan tanpa makna. Berbagai filosofi kehidupan tersirat dari gerakan-gerakan shalat. Muslim bijak yang mampu membaca makna filosofis shalat, merekalah yang mampu menjadikan shalatnya sebagai inspirasi dalam kehidupan. Setidaknya, mereka terhindar dari hal-hal negatif dalam kehidupan ini. Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS al-'Ankabut [29]: 45).

Shalat fardhu lima waktu dianjurkan berjamaah di masjid. Ganjarannya 27 derajat dibanding shalat sendiri. Rasulullah SAW sangat disiplin mengontrol umatnya untuk shalat di masjid. Rasulullah SAW pernah bertekad untuk menyuruh kaum Muslimin melaksanakan shalat. Sementara, Beliau SAW pergi bersama beberapa orang membawa seikat kayu untuk membakar rumah orang yang tidak datang shalat berjamaah. (HR Bukhari Muslim).

Berjamaah adalah simbol persatuan umat Islam. Bayangkan saja, jika dalam shalat saja mereka mampu berjamaah, tentu dalam urusan duniawi mereka akan mampu saling bahu-membahu. Merapatkan dan meluruskan saf adalah simbol persatuan dan kerukunan umat Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Luruskan saf, jangan berselisih. Nanti, hati kalian juga akan berselisih." (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW sangat disiplin soal kelurusan shaf. Ia tak pernah memulai shalat sebelum saf para sahabat benar-benar rapi, lurus, dan rapat. Ia takut pertikaian hati umat Islam bisa dimulai dari bertikainya saf mereka dalam shalat.

Seorang negarawan yang baik bisa bercermin dalam shalat. Hanya ada satu imam yang mutlak harus diikuti selagi ia taat kepada Allah dan ikut aturan-aturan syariat. Jika si imam khilaf dalam gerakan shalat, makmum mengingatkan dengan zikir "subhanallah". Si imam diingatkan dengan kalimat yang baik. Akan batal shalat si makmum jika dia menegur imam dengan berdebat dan menyebut kesalahannya. Ini adab kepada pemimpin yang diajarkan shalat.

Ketika imam ditegur karena kesalahannya, ia tak bisa ngotot. Ia akan segera sadar bahwa gerakan shalatnya sudah keliru. Demikian juga ketika ia lupa bacaan Alquran dalam shalatnya. Ia mendengarkan dengan seksama bacaan makmum yang mencoba mengingatkannya. Apabila si imam batal wudhunya, si imam akan sadar diri dan mengundurkan diri sebagai imam. Ia sadar, ia tak pantas lagi menjadi imam karena wudhunya telah batal. Inilah adab seorang pemimpin yang diajarkan Islam.

Bayangkan, jika adab imam dan makmum seperti yang diajarkan shalat tersebut benar-benar diterapkan dalam kehidupan bernegara. Rakyat menaati pemimpin mereka, selama si pemimpin taat kepada Allah dan menjalankan roda pemerintahan sesuai syariat-Nya. Ketika pemimpin khilaf, diingatkan dengan cara yang baik dan kata-kata yang mulia.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement