Dalam piramida sosial, Kasmini yang tak tamat sekolah dasar dan bekerja sebagai ART dengan penghasilan tidak lebih dari Rp30.000 per hari berada di bagian bawah.
Masyarakat yang menempati bagian bawah piramida sosial ini hampir tak mungkin menjangkau produk dan jasa keuangan formal seperti tabungan, transfer, peminjaman dan asuransi. Padahal komposisi kelompok sosial tersebut lebih banyak dibandingkan mereka yang berada di bagian atas.
Survei Bank Dunia pada 2010 menunjukkan hanya 49 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.
Data serupa juga ditemukan Bank Indonesia dalam Survei Neraca Rumah Tangga (SNRT) pada 2011, yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang menabung di lembaga keuangan formal dan nonlembaga keuangan sebesar 48 persen.
Dengan semangat untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi, keuangan inklusif menjadi agenda di berbagai forum baik di tingkat nasional mapun internasional.
Komitmen pemerintah untuk menerapkan keuangan inklusif disampaikan pada KTT ASEAN 2011 dengan menetapkan strategi nasional yang terdiri atas enam pilar, yakni, edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan dan peraturan pendukung, fasilitas intermediasi dan distribusi, serta perlindungan konsumen.
Keuangan inklusif juga dibahas dalam forum G20, OECD (Organisasi Untuk Pembangunan Kerja Sama Ekonomi), APEC (Organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik) dan ASEAN.
Sementara keuangan inkflusif yang baru populer belakangan ini masih akan terus dibahas dalam forum-forum tersebut guna menetapkan bentuk dan peraturan tentangnya.