Kamis 27 Jul 2017 06:07 WIB

Catatan Pulang Kampung (5)

Shamsi Ali
Foto:

Di sinilah kemudian saya di mana-mana menyampaikan bahwa Indonesia sesungguhnya tidak terancam intoleransi. Justeru menurut saya yang terjadi adalah dinamika kehidupan bermasyarakat. Bahwa dalam relasi antar anggota masyarakat akan selalu ada riak-riak yang tumbuh. Tapi riak-riak itu bukanlah sebuah kesimpulan dari keadaan umum sebuah bangsa dan negara.

Dan karenanya sebuah peristiwa politik, ambillah sebagai misal retorika kampanye politik harusnya tidak menjadi ukuran toleransi atau intoleransi sebuah bangsa dan negara.

Ketiga, kejadian-kejadian mutakhir, khususnya pasca pilkada DKI Jakarta selayaknya tidak menjadi dasar tuduhan intoleransi kepada Indonesia. Bahkan sebaliknya justeru peristiwa-peristiwa itu, terlepas dari penafsiran masing-masing tentang motif politiknya, adalah kebanggan nasional bangsa Indonesia.

Kenapa? Karena Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia tidak seperti yang diasumsikan oleh dunia luar. Bahwa negara-negara mayoritas Muslim selamanya tidak memiliki kebebasan ekspresi. Kenyataannya Muslim Indonesia ternyata bebas menyatakan pendapat dengan penuh kebebasan. Berarti asumsi bahwa negara-negara mayoritas Muslim itu tidak bebas, tertepis dengan kebebasan masyarakat Indonesia. Hal adalah bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ternyata tidak anarkis.

Sebaliknya sungguh sebuah kebanggaan bahwa bangsa Muslim terbesar ini mampu mengekspresikan diri terhadap sesuatu yang tidak disetujuinya melalui kebebasan berekspresi dalam kerangka demokrasi. Artinya, hal yang membanggakan sesunguhnya adalah ternyata demokrasi di Indonesia sebagai negara Muslim besar itu sangat hidup dan dinamis.

Lebih dari itu, protes yang dilakukan dengan jumlah massa yang besarnya luar biasa itu ternyata tidak destruktif. Sebaliknya aman, tertib, dan damai. Itu juga berarti bahwa dalam keadaan protes sekalipun, yang sudah pasti nuansanya ada kemarahan, Muslim Indonesia tetap tertib, aman dan damai. Berjuta-juta manusia keluar ke jalan-jalan tapi rumput pun tetap terjaga. Tak satu rumah ibadah orang lain yang diganggu. Tidak ada juga kepemilikan orang lain yang dirusak. Bayangkan saja jika aksi-aksi itu terjadi di negara lain, Pakistan misalnya.

Dari semua itu, tidakkah Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia justeru seharusnya dibanggakan? Bukan justeru dikampanyekan secara terbalik bahwa negara dan bangsa Indonesia sedang terancam intoleran dan kekerasan. Bahkan dibangun kekhawatiran besar jika Indonesia saat ini hampir terjatuh ke dalam konflik yang menghancurkan, bagaikan konflik Suriah.

Sayang memang, dunia kita lebih banyak diwarnai dan dibentuk oleh persepsi yang terbangun. Kenyataan atau realita terkadang hanyut dalam timbunan persepsi yang dibangun, khususnya oleh media. Demikian pulalah Indonesia saat ini.

Keesokan dini hari saya melanjutkan perjalanan ke kota Surabaya. Sebuah kota yang pernah saya kunjungi di penghujung tahun 1995 silam. (Bersambung)!

* Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement