Rabu 29 Mar 2017 17:59 WIB

Cinta, Falsafah Hidup Buya HAMKA

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nasih Nasrullah
Acara bedah buku
Foto:

***

Pada 1970, Buya HAMKA menulis kata pengantar untuk cetakan ke-12 buku karyanya, Tasawuf Modern. Itu merupakan pengembangan dari artikel-artikelnya di Pedoman Masyarakat. Dalam kalam pembuka itu, Buya HAMKA melukiskan bagaimana penderitaannya dituduh sebagai pengkhianat negara. 

Tanggal 27 Januari 1964, pukul 11.00 siang, ia dijemput paksa dari kediamannya. Dengan kondisi tersekap, ia dibawa ke lokasi tempat interogasi, yang diperkirakannya berada di Sukabumi, Jawa Barat.

Selama 15 hari, Buya HAMKA diintimidasi untuk mengakui perbuatan yang bahkan tak pernah terpikirkan sama sekali, apalagi dilakukannya. Ia dituduh mengkhianati Indonesia, bersekongkol dengan Malaysia, dan menghendaki kematian Bung Karno. Dalam interogasi itu, ia merasa mentalnya jatuh. Tidur pun tidak diperbolehkan. Para petugas interogasi mengancamnya dengan pistol. 

Satu hal yang awalnya mengherankan Buya HAMKA. Sebagai tahanan, saat itu ia dijauhkan dari segala benda-benda tajam. Mengertilah akhirnya Buya Hamka waktu itu mengapa mereka melakukannya. 

Sebab, orang yang mentalnya runtuh begitu rentan melakukan perbuatan yang tak disangka. Termasuk mengakhiri nyawa sendiri. Dala kondisi demikian, ia merasa bisikan setan itu nyata. 

“Yang datang itu ialah setan! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau-silet. Kalau pisau kecil itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita,” tulis Buya HAMKA.

Satu jam lamanya tekanan psikologis itu dialaminya. Perang hebat antara perdayaan iblis dan iman yang telah dipupuk bertahun-tahun di dalam kalbu. Tetapi alhamdulillah, tulis Buya Hamka kemudian: “iman saya menang.”

***

Orde Lama runtuh. Pada 16 Juni 1970, Kafrawi Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto saat itu, datang ke kediaman Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari keluarga Bung Karno. 

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” tulis Bung Karno dalam pesannya.

“Jadi beliau sudah wafat?” tanya Buya HAMKA kepada Kafrawi.

“Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenasahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.” 

Buya HAMKA terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. 

Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. 

Sesuai wasiat Sukarno, Buya HAMKA pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.

Dalam sebuah kesempatan kemudian, Buya HAMKA memuji jasa-jasa presiden Sukarno. Di antaranya, pembangunan Masjid Baitul Rahim di Istana Negara serta Masjid Istiqlal. 

Satu hal yang tak terlupakan. Buya HAMKA menyebutkan bahwa di dalam proses penulisan karyanya, Tafsir al-Azhar, ada andil Bung Karno. Sebab, tafsir itu diselesaikan saat ia berada di penjara.

“Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement