Rabu 01 Feb 2017 04:33 WIB

Kebudayaan Kota Kolonial dan Pesan Hatta Soal Penghancuran Sejarah

Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.
Foto:
Mohamad Hatta 1947.

Menurut Hatta, berbeda sekali dengan kota-kota yang dibangun pada zaman kerajaan Hindu dan Islam. Kota-kota yang dibangun sultan-sultan Melayu dan Jawa bukan hanya dimakudkan sebagai pusat pemerintahan perdagangan, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan.

Istana besar kontrbusinya terhadap perkembangan kebudayaan dan seni. Mereka melindungi kegiatan penulisan kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.

Maka kota-kota yang dahulu dibangun sebagai ibukota kesultanan seperti Kutaraja (Banda Aceh), Banjarmasin, Palembang, Riau Penyengat, Surakarta, Yogyakarta, Gowa dan lain-lain tumbuh sebagai pusat kegiatan intelektual dalam arti sebenarnya.

Di sana lahir tokoh besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf al-Sinkili, Yusuf al-Makassari, Arsyad al-Banjari, Abdul Samad al-Palimbangi, Nawawi al-Bantani, Raja Ali Haji, Yasadipura I dan II, Ranggawarsita dan lain sebagainya.

Dan di sana pula bahasa Melayu dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya di mana pusta-pusat kerajaan melahirkan pujangga besar seperti Mpu Kanwa, Mpu Panuluh, Mpu Sedah, Mpu Tanakung, Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunungjati, dan lain sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement