Jumat 20 Jan 2017 08:12 WIB

Mr Roem, Soekarno, Pembubaran Masyumi: Negara Islam itu Ada?

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Sukarno bersama M Natsir

Pada bulan November 1982, muncul tulisan Roem berjudul: “Saya Menerima Pancasila karena Saya Orang Islam” (Panji Masyarakat No. 378/Tahaun XXIV, 4 Syafar 1403-21 Nopember 1982).

Roem memulai tulisannya dengan mengutip tulisan H. Agus Salim di majalah Hikmah, 21 Juni 1953, sebagai berikut: “Sebagai  salah seorang yang turut serta membuat rencana pernyataan kemerdekaan sebagai pendahuluan (preambule) rencana Undang-Undang Dasar kita yang pertama di dalam Majelis Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa akhir-akhir kekuasaan Jepang saya ingat betul, bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan ‘Aqidah’ kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahman Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya dengan semata-mata kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut Kehendak-Nya.”

Dalam tulisannya itu Roem bercerita bahwa saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia, dirinya sudah berusia 37 tahun. Muslim yang dewasa serta mempunyai pengalaman hidup. Roem tahu, seorang Muslim mutlak mengakui keesaan Allah seperti tercantum dalam dua kalimat syahadat. Roem juga tahu, ada rancangan Undang-Undang Dasar yang dalam preambulenya memuat tujuh kata: “….dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Roem juga tahu, sebelum Undang-Undang Dasar itu disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan, tujuh kata itu dihapus.

Sebagai Muslim, Roem menyayangkan penghapusan tujuh kata itu. Akan tetapi, karena sudah menjadi hasil musyawarah dari para pemimpin, terutama Bung Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo, Roem tidak terus menerus menyayangkan, karena menurut Bung Hatta penghapusan itu untuk persatuan bangsa, terutama umat Kristen dan umat Islam.

          Keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Esa itu, dengan amandemen Ki Bagus, menurut Roem adalah sesuatu yang tidak statis, melainkan mengalami  pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan masing-masing orang. Oleh karena itu, meskipun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai agama dan aliran, semuanya diikat oleh suatu ikatan yang kuat, yaitu Pancasila. Dalam rangka ini, Roem mengutip Tafsir Asas Masyumi, sebagai berikut:

 

“Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,  dan telah dipertahankan kedaulatannya dengan usaha bersama-sama pula sampai tercapai pengakuan dunia atas kedaulatan itu pada tanggal 27 Desember 1949, adalah karunia Ilahi atas jihad perjuangan bangsa Indonesia atas dasar Pancasila, kata persamaan antara segenap golongan.”

Bagi Roem, seorang Kristen yang taat kepada agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Orang Islam yang taat kepada agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Ia tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila falsafah negara. “Saya menerima Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena saya adalah orang Islam, yang mendapat ajaran dari Nabi tentang Ketuhanan,” kata Roem.

Ketika Dr. M. Amien Rais dalam wawancara dengan Panji Masyarakat No. 376, 14 Muharam 1403/1 Nopember 1982, mengatakan “Tidak ada negara Islam…. Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” Roem meresponsnya dengan menurunkan tulisan berjudul “Tidak Ada Negara Islam” (Panji Masyarakat, No. 386, 28 Rabiul Akhir 1403/11 Februari 1983).

Roem membenarkan pendapat Amien. “Tidak saja ia benar, akan tetapi ia juga bijaksana, karena di Indonesia ini kata istilah itu, lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, malah ada yang alergis mendengar kata istilah itu,” tulis Roem seraya menambahkan bahwa dirinya tidak akan mengecek bahwa perkataan negara Islam itu betul-betul tidak ada di dalam al-Quran dan al-Sunnah. “Yang pernah saya cek,” Roem melanjutkan, “dalam statute dan anggaran dasar Masyumi, kata istilah itu tidak ada.”

Meskipun demikian, Roem mempertanyakan maksud pernyataan Amien. “Dalam pada itu, apa sebenarnya yang dimaksud oleh Dr. Amien Rais itu? Sekadar namanya saja atau lebih dari nama, yang tidak ada.” Dalam hubungan ini, Roem berpendapat memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansi, ada. Lebih lanjut, mari kita simak pendapat Roem:

 “Pada akhir hayat Nabi, pada saat surat Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun dan di bawah pimpinan Nabi sendiri, yang tidfak diberi nama khusus oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai cirri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna. Yang menjadi pemimpin, tidak memakai gelar atau titel tersendiri, adalah Nabi Muhammad Rasulullah, seorang yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu, di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State tidak dalam nama (what is in a name), melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”

Dalam perkembangan berikutnya, dari Chicago, Amerika Serikat, Nurcholish Madjid merespon tulisan tersebut dengan berkirim surat kepada Roem. Korespondensi Nurcholis dengan Roem itu kemudian dibukukan dengan judul Tidak Ada Negara Islam Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem.

Judul buku itu dikritik oleh Rushdy Hosein (Syarif Hidayatullah Edisi 12/XV-2003): “Judul buku itu menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

 

* Lukman Hakiem, mantan Staf PM Nastir dan mantan angota DPR RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement