Jumat 20 Jan 2017 08:12 WIB

Mr Roem, Soekarno, Pembubaran Masyumi: Negara Islam itu Ada?

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Suharto bersama Panglima Besar Sudirman sebelum pulang ke Yogyakarta dari medan gerilya.

Mengenai situasi saat itu, simak cerita Natsir berikut:

“Waktu persetujuan Linggajati, partai Masyumi tidak setuju dengan persetujuan tersebut, tetapi juga tidak menghalangi unsure Masyumi duduk dalam delegasi perundingan. Partai Masyumi jalan terus, meneruskan oposisi. Partai Masyumi tidak percaya bahwa Belanda akan mentaati persetujuan itu. Analisis Partai Masyumi ternyata betul. Tetapi persetujuan Linggajati itu adalah suatu persetujuan internasional. Pelanggaran Linggajati oleh Belanda, itu meningkatkan issue Indonesia di dunia internasional. Dan itu menjadi pembuka pintu bagi Indonesia untuk masuk PBB. Itulah fungsi persetujuan Linggajati. Jadi bukan untuk memecahkan persoalan secara langsung, tetapi sebagai pembuka jalan untuk mencapai penyelesaian yang lebih terjamin.

 “Waktu persetujuan Renville, juga terulang kembali partai Masyumi tidak menyetujui, dan banyak lagi partai-partai lain bersikap sama. Tetapi Roem tetap duduk dalam delegasi….”

Kerasnya sikap oposisi Masyumi kepada Persetujuan Linggajati, digambarkan Roem:

“Waktu itu Masyumi menolak Persetujuan Linggajati, tetapi menteri-menteri Masyumi menyetujuinya, bukan atas nama partai. Kejadiannya yang tepat ialah, sewaktu saya masih di Linggajati, Radio Yogyakarta menyiarkan pengumuman bahwa partai Masyumi menolak Persetujuan Linggajati. Sikap itu diumumkan, sebelum saya memberikan laporan kepada partai.”

Demikianlah, di saat negara-bangsa memerlukan kehadirannya, Roem tampil sepenuh hati. Dari sejak Masyumi berdiri, sampai partai itu membubarkan diri, Roem selalu hadir di pentas politik nasional, baik atas nama partai maupun atas nama pribadi. Tidak terdengar orang menggerutu atas kenyataan tersebut. Bahkan jika pun terkesan Roem “menyebal” dari garis partai, tidak pernah terdengar riwayat mengenai Roem yang dijatuhi sanksi oleh partai tempatnya berkiprah.

Kata kunci dari kesemuanya itu adalah integritas. Baik kawan maupun lawan, mempercayai integritas Roem. Salah seorang kawan satu partai, tetapi i pernah “dikecewakan” oleh Roem adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989). Pada saat Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri ditawan, serta ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda; Sjafruddin melanjutkan nafas Republik dengan membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.

Di tengah eksistensi PDRI yang makin menguat, tanpa sepengetahuan PDRI, pada awal Mei 1949 berlangsunglah pembicaraan antara Roem dengan Roijen. Inilah komentar Sjafruddin terhadap peranan Roem dalam peristiwa tersebut:

“Hanya sekali dia (Roem –pen) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Soekarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden, karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘persetujuan Roem-van Roijen’ (Mei 1949).

“Dia berani berbicara seolah-olah tidak ada PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Padahal PDRI pada waktu itu adalah satu-satunya Pemerintah yang sah.

“Tetapi saya yakin, bahwa Roem hanya menjalankan apa yang dia pandang sebagai kewajibannya, demi untuk kepentingan nusa dan bangsa, dan sedikit pun tidak ada niat padanya untuk menyeleweng dan meninggalkan PDRI. PDRI waktu itu memang sukar dihubungi, sebab masih ada di tempat persembunyiannya di Sumatera Tengah (Bidar Alam). Walaupun kalau memang sungguh-sungguh diusakan, pimpinannya pasti bisa dihubungi. Sebab PDRI mempunyai hubungan radio dengan instansi-instansi PDRI yang penting di Sumatera dan Jawa, serta di luar negeri.

Tetapi, karena saya yakin tentang integritas dari Roem dan kawan-kawan lain yang menyokong pembicaraan Roem dengan van Roijen, kami tetap bersatu walaupun berbeda pendirian. Persatuan inilah yang akhirnya membawa kemenangan!”

Integritas Roem, menyebabkannya mampu menilai sesuatu secara objektif. Itulah yang terjadi pada akhir 1980 hingga awal 1981.

Pada 15 September 1980, Kompas memuat tulisan H. Rosihan Anwar berjudul “Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta.” Inti tulisan Rosihan ialah bahwa Sukarno melalui apa yang disebut dengan “Surat-surat dari Sukamiskin” pernah meminta ampun kepada pemerintah kolonial Belanda. Sukarno adalah pemimpin yang gampang menyerah.

Tidak syak lagi, tulisan Rosihan segera menimbulkan kegemparan. Tanggapan pun bermunculan dari H. Mahbub Djunaidi (Kompas 7 Oktober 1980, “Itu Mah Pamali, Itu Mah Mustahil,” kata Ibu Inggit), Ayip Bakar (Kompas, 7 Oktober 1980, “Di Sini Tertutup, Di Sana Ditelanjangi’), dan Anwar Luthan (“Antara Taktik dan Azas dalam Politik”). Dalam kegemparan itu, muncul tanggapan Mohamad Roem berjudul “Surat-surat” dari Penjara Sukamiskin (Kompas, 25 Januari 1981).

Tanggapan Roem tampaknya merupakan tanggapan yang paling menghentak Rosihan. Terbukti, Rosihan segera merespons tulisan Roem (Kompas, 14 Februari 1981, “Surat-surat Ir. Sukarno kepada ‘Procureur-General’ Hindia-Belanda”). Respons Rosihan, dijawab lagi oleh Roem (Kompas, 23 Februari 1981, “Surat-surat” dari Penjara Sukamiskin Perkembangan Suatu Polemik).

Tulisan Roem yang membantah tuduhan Rosihan, dan meragukan keaslian dokumen yang diyakini kebenarannya oleh Rosihan menjadi tinggi sekali bobotnya, lantaran Roem, jika bukan lawan politik, pastilah bukan orang yang dapat dikategorikan sebagai pendukung Soekarno.

Roem yang oleh rezim Soekarno selama empat tahun dijebloskan ke penjara tanpa diadili dan tanpa sebab yang jelas, lewat dua tulisannya dengan penuh keyakinan justru tampil membela Bung Karno dari tuduhan Rosihan.

Perbedaan pendapat di masa lalu, kekeliruan langkah seseorang di masa dia berkuasa, sama sekali tidak menyebabkan Roem kehilangan objektivitas. Roem telah member teladan tentang betapa kebenaran sejarah tidak boleh diselimuti oleh dendam, luka lama, atau kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat sesaat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement