Mendengar pernyataan Kyai Syukri Ghozali, maka Rhoma Irama pun langsung menangis penuh haru atas apa yang disampaikan oleh pihak MUI. Fachri Hamka selaku penggagas acara pun merasa puas telah mempertemukan dua unsur yang mewakili umat Islam.
Bagaimanapun, Rhoma saat itu dipandang sebagai salah satu sosok musisi yang berada dalam barisan yang memperjuangkan Islam ditengah rezim yang tengah berupaya keras memperkuat kedudukannya dengan "menekan" lawan politik yang kebetulan berada dalam barisan "hijau".
Keterlibatan aktif Rhoma Irama dan Soneta pada Pemilu 1977 memang membuat pemerintah memasukkan nama Rhoma Irama sebagai sosok yang patut diwaspadai sepak terjangnya. Meskipun tidak terlibat langsung sebagai pengurus atau anggota PPP, satu-satunya partai berasas Islam saat itu, kehadiran Rhoma dan Soneta di setiap Kampanye PPP nyata-nyata berhasil mengumpulkan massa terbesar, bahkan PPP berhasil mengimbangi dominasi Golkar sebagai partai penguasa, di DKI Jakarta.
Tak heran banyak yang menilai kasus lagu Laailaahailallah sengaja diletupkan untuk mendiskreditkan Rhoma Irama di mata umat Islam, khususnya MUI.
Dan bukan hanya kali itu saja lagu Laailaahailallah menjadi sorotan. Tahun 1983, ketika Soneta akan tampil dalam acara FFI di kota Medan, Rhoma sempat didatangi oleh beberapa anggota DPRD yang kebetulan beragama non Islam yang meminta agar ia tidak membawakan lagu Laailaahailallah dalam pertunjukan tersebut. Namun Rhoma tak surut, ia tetap membawakan lagu tersebut meskipun pada akhirnya pihak TVRI Medan mendadak mengganti acara ketika Rhoma Irama dan Soneta Grup tampil, padahal sebelumnya seluruh rangkaian acara disiarkan secara langsung.