Namun, kita sekarang dihadapkan situasi yang satu sisi bisa menguntungkan, namun di banyak sisi juga bisa menjerumuskan kita menuju titik nadir peradaban.
Kita hidup di era keterbukaan informasi yang kerap kali menafikan sekat-sekat budaya. Efek negatif kemajuan teknologi informasi mengikis budaya kesantunan, etika kesopanan yang merupakan karakter khas adat ketimuran kita.
Ketidaksiapan kita menghadapi era digital saat ini, juga bisa berakibat fatal pada kepedulian, dan keterikatan generasi sekarang, bahkan generasi mendatang terhadap perkara yang berbau transendental.
Bukan tidak mungkin, spiritualitas kian terdegradasi perlahan dari pribadi-pribadi generasi muda kita. Dan, gejala dan fenomena itu semakin tampak.
Di satu sisi, krisis keteladanan menghadapkan kita pada satu kenyataan pahit, yaitu krisis kepercayaan dalam tiap levelnya.
Terkikisnya spiritualitas itu pada akhirnya, mendasari beragam tindakan amoral, korupsi, ketidakadilan, dan problematika lain yang mendera bangsa kita saat ini.
Dalam konteks inilah, relevansi dan urgensi peringatan Maulid Nabi SAW itu berada. Subtansi dan esensi Maulid Nabi SAW adalah adalah manifestasi menghadirkan kecintaan kita terhadap Rasulullah dan akhirnya diharapkan mampu memantik spiritualitas dan religiusitas.
Ini adalah satu dari sekian media yang bisa dijadikan momentum membangkitkaan dan mengasah kembali rasa cinta terhadap junjungan kita, Muhammad SAW.
Bahkan seyogianya dijadikan sebagai energi positif, daya dorong, untuk mewujudkan peradaban yang unggul. Dunia Islam saat ini, membutuhkan penyegaran kembali kecintaan terhadap Baginda Rasul, menghidupkan kembali sirah, mengaktualisasikan, dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang diteladankan junjungan kita tersebut.
Nilai-nilai spiritualitas bagaimanapun, menurut pandangan sejarawan terkemuka Inggris, Arnold Toynbee, dalam bukunya A Study of History, adalah faktor penting pelestari peradaban.
Konstruksi sebuah bangsa dengan peradaban yang ada di dalamnya, tak ubahnya istana pasir. Ia tak hanya rapuh, tetapi lebih dari itu, ia hanya menjadi tipuan belaka. Tampak kokoh dari luar, namun sisi internalnya sangat rentan.
Berkacalah pada sejarah, kata Ibnu Khaldun, bagaimana kejayaan Islam di Andalusia, Spanyol, runtuh dan hanya menyisakan gedung-gedung yang membisu.
Keruntuhan Islam di belahan Eropa itu menunjukkan kepada kita kohesi yang tak terpisahkan dan korelasi yang kuat antara peradaban dan spiritualitas yang bermuara pada akhlak, moralitas, dan etik.
Terakhir kali, marilah kita jadikan peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW kali ini, sebagai mementum kembali meneladani pribadi Rasul yang mulia dan agung lalu mengejewantahkannya dalam aksi-aksi nyata.
Agar umat Islam mampu menjadi apa yang disebut Alquran, sebagai umat terbaik sekaligus saksi dan pelaku aktif (syuhada) bagi terwujudnya peradaban yang gemilang. Bukan malah sebaliknya. Madad ya Rasulullah..