Rabu 31 Aug 2016 09:30 WIB

Islam Minoritas, Warisan Kemiskinan, dan Etos Hidup Muslim Indonesia

Warga memanfaatkan air bersih di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, Senin (9/5).  (Republika/Yasin Habibi)
Foto:

Yang menarik justru apabila kita membahas mengenai kondisi si kaya di Indonesia. Memang ada beberapa jenis klasifikasi orang kaya. Mulai dari klasifikasi pendapatan 100 ribu dolar AS maupun di atas 1 juta dolar AS.

Secara total, jumlah orang kaya ini kurang dari 1 persen total populasi. Bahkan orang yang punya pendapatan di atas 1 juta dolar AS hanya ada 123 ribu orang, atau 0,4 persen dari total populasi Indonesia.

Secara angka, jumlahnya memang sangat sedikit. Tapi si kaya yang sangat sedikit inilah yang mayoritas memegang kendali di negeri ini.

Bandingkan dengan kemiskinan yang seakan merata dengan jumlah 28 juta jiwa. Sementara untuk menjadi orang kaya seakan butuh seleksi alam super ketat. Sehingga hanya seratus ribu saja yang beruntung mendapatkan harta melimpah di Indonesia.

Salah satu klasifikasi orang kaya di Indonesia adalah mereka yang selama ini hidup di kota. Mereka pula yang punya tingkat pendidikan tinggi. Rata-rata tamatan SMA ke atas. Mayoritas si kaya pun berasal dari keluarga yang sudah bertabur harta.

Kalau dilihat dari asal suku, mayoritas dari orang kaya di Indonesia ini adalah warga keturunan. Sedangkan dalam kategori agama, orang Islam Indonesia tak sedominan saat mendominasi kategori miskin. Faktanya sembilan dari 10 orang terkaya di Indonesia bukan pemeluk Islam.

Fakta di atas tentu menjadi kritikan tersendiri bagi umat Islam di Indonesia. Kritik mengenai sejauh mana etos kerja umat Islam di Indonesia.

Di tengah jumlahnya yang mayoritas, Islam justru minoritas di sektor ekonomi. Situasi ini tentu bukan menjadi kesalahan kelompok tertentu yang kini mendominasi.

Sebab kelompok yang kini mendominasi ekonomi di Indonesia tentu bisa seperti sekarang ini karena berusaha keras. Butuh keringat dan air mata hingga 123 ribu orang itu mampu menyandang status si kaya di Indonesia.

Sebuah status yang tentu bukan jatuh dari langit. Status yang juga bukan merupakan sebuah kejahatan, melainkan hasil pengorbanan.

Lihat pula perbandingan sekolah berkualitas yang ada di Indonesia. Walau minoritas, kalangan non muslim nyatanya lebih banyak yang berinvestasi dalam membangun sekolah atau universitas berkualitas.

Segala investasi panjang ini yang kini membuahkan hasil bagi kelompok minoritas. Sehingga tak ada alasan buat kelompok lain untuk iri dengan menjadikan alasan SARA sebagai tameng atas ketidakmampuannya.

Sebaliknya, kenyataan bahwa Islam menjadi minoritas di negeri ini dari sisi ekonomi justru patut menjadi pelecut. Mengeluh, memaki, hingga menjadikan isu SARA sebagai biang keladi, tentu hanya tidakan orang-orang cengeng. Tindakan yang justru membuktikan mengapa mereka tak bisa menjadi bagian dari 123 ribu orang sukses di Indonesia.

Sebaliknya, fakta soal si kaya dan miskin ini justru harus jadi motivasi. Sebab mayoritas secara jumlah jadi tak ada artinya jika semua hanya berpangku tangan dengan etos hidup yang pas-pasan. Sebab lebih baik menjadi minoritas secara jumlah, tapi punya semangat hidup yang pantang menyerah. Sehingga akhirnya si minoritas pun punya pengaruh yang mayoritas.

Ah, kalau sudah begini saya agak setuju dengan penggalan lirik lagu Greenday. "I want to be the minority......"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement