Kamis 26 May 2016 04:53 WIB

Tanah Kusir, ‘Demokrasi Kita’, dan Hajinya Bung Hatta

Mohamad Hatta 1947.
Foto:
Mohamad Hatta bersama Sukarno di Yogyakarta pada 21 Desember 1949. (foto:gahetna.nl)

Entakkan ingatan soal sosok Bung Hatta kembali mengentak ke benak publik, ketika Senin malam lalu (24/5), di salah satu talkshow, televisi Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta Prof Moh Mahfud MD kembali menyitir tulisan Bung Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat.

Mahfud dalam talkshow yang menyoal "Kontroversi Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Soeharto" itu kembali menukil tulisan tersebut yang di antaranya menyebut soal istilah "kudeta" dan "diktator" yang menjadi ancaman demokrasi saat kekuasaan negara berubah menjadi otoriter.

Mahfud mengingatkan agar sejarah dan politik tidak dilihat dalam kacamata hitam-putih. Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran hidup.

"Mungkin banyak yang tidak tahu ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit membubarkan DPR, Badan Konstituante, Bung Hatta menulis buku Demokrasi Kita. Di situ Bung Hatta pun mengatakan Bung Karno itu (melakuka--Red) kudeta. Artinya, kalau ada yang mengatakan Soeharto melakukan kudeta, maka sebelumnya pun sama, sebelumnya pun sama,’’ kata Mahfud yang mencoba menjelaskan asal usul hadirnya rezim otoriter di Indonesia.

Dan bila kemudian menukil tulisan Bung Hatta yang saat itu dimuat di Majalah Panji Masyarakat, maka itu memang merupakan kritikan yang keras atas situasi negara meski dilakukan dengan pilihan kalimat yang santun. Akibatnya, tak beda dengan era rezim Orde Baru, pada saat itu rezim Sukarno yang tengah berada di puncak kekuasaan menjadi gerah, Majalah Panji Masyarakat pun diberedel.

Berikut ini cuplikan dari tulisan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita yang menyebut soal "kudeta" dan "diktator" seperti yang disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam talkshow yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu:

........ Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta--Red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.

Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri.

Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu.....

Akhirnya enam tahun kemudian apa yang ditulis Bung Hatta terbukti....!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement