Oleh: Asep Sapaat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap guru boleh kaya. Tak ada satu pun hukum yang melarangnya. Namun, yang paling mulia ketika guru menjadikan kesederhanaan sebagai cara hidupnya meski dia punya kekayaan melimpah. Dengan hidup sederhana, guru akan merasa cukup, bahagia, dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, para pemboros adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS al-Isra: 26 – 27).
Guru harusnya memang hidup sederhana. Pertama, hidup sederhananya guru itulah pendidikan. Bagi guru sendiri, mereka sungguh-sungguh praktik mendidik dirinya agar tak terjebak hidup boros, konsumtif, dan hedonis. Jika guru sebagai orang tua mampu membina keluarganya menjadi potret keluarga sederhana itulah sumber inspirasi. Dia jadi terhormat, dicintai, dan didengar kata-katanya.
Ini mendorong murid, orang tua murid, rekan sejawat, dan masyarakat untuk juga berperilaku sederhana. Imam Al Ghazali menyatakan, tidak boleh orang tua membiasakan anaknya hidup mewah. Sebab, kalau sejak dini anak dibiasakan dengan gaya hidup mewah maka ia akan menghabiskan umurnya dalam kehidupan yang serbamewah itu. Akibatnya ia akan jatuh dalam jurang kehancuran untuk selama-lamanya.
Kedua, guru wajib memiliki kesadaran pilihan mengapa harus hidup sederhana. Memang, guru dituntut untuk sadar posisi. Posisi guru memiliki tanggung jawab moral sebagai sumber keteladanan. Guru berbeda posisinya dengan pengusaha, misalnya. Bila ingin kaya jadilah pengusaha. Namun, kaya saat dan setelah menjadi guru, itulah masalahnya. Untuk apa menjadi guru? Amanah guru adalah mengajar dan mendidik, bukan memperkaya diri. Andai pun lewat usaha yang halal dan thayib, guru bisa menjadi kaya. Masih punya kesadarankah untuk tetap bersahaja?
Berperilaku sederhana merupakan salah satu cerminan dari sifat rendah hati. Dengan rendah hati untuk sederhana, kehidupan guru jadi sehat dan bahagia. Guru bisa mengontrol diri dan tak terjerat dalam nafsu yang membinasakan. Sikapnya jauh dari kesan sombong dan mengedepankan sikap kanaah. Dari Abdullah bin 'Amr bin al-Ash ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh berbahagialah orang yang masuk agama Islam serta diberi rezeki cukup dan diberi sifat kanaah (suka menerima) dengan apa-apa yang telah dikaruniakan oleh Allah." (HR Muslim).
Ketiga, guru yang ingin hidup sederhana, pasti menolak segala bentuk suap. Suap bisa datang dari siapa saja. Misalnya, saat guru menerima segala jenis hadiah dan pemberian dari orang tua murid. Sadarkah kehormatan dan kewibawaan guru bakal tergadai? Ketika anak tersebut nilai pelajarannya jelek, masihkah guru berani mengutarakan fakta yang sebenarnya pada orang tua murid? Dengan menolak suap, guru akan berkonsentrasi bekerja. Dalam membuat keputusan akan adil dan tak dipengaruhi pihak-pihak penyuap. Guru bersahaja selalu merasa cukup dengan rezeki yang diperoleh. Dampaknya, mereka jadi insan yang pandai bersyukur dan tak tergoda untuk memperkaya diri apalagi dengan cara penuh maksiat.
Akhirnya, kita bisa memetik hikmah dan pelajaran saat Umar RA memasuki kamar Nabi dan menemui Rasulullah SAW yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Rasulullah bertanya, "Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khattab?"
Lalu Umar menjawab, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara, kaisar Romawi dan raja Persia bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini."
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Wahai putra Khattab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?" Umar RA menjawab: "Tentu saja aku rela..." (Shahih Muslim No 2704). Wahai para guru, relakah jika hidupmu penuh kebersahajaan?