Jumat 13 Jan 2012 17:39 WIB

Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah? (Bag 3-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Heri Ruslan
Syiah dan Sunni
Syiah dan Sunni

REPUBLIKA.CO.ID,  Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i dalam kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi'ah, mengungkapkan, dalam konteks kemanusiaan, setidaknya ada beberapa hal yang mempertemukan Sunni-Syiah. Bahkan, prinsip itu menyatukan pula berbagai elemen dalam bingkai kemanusian. Perspektif ini—tidak boleh tidak—perlu didudukkan sebagai landasan cara pandang dan pola berpikir.

Prinsip yang pertama, kata ar-Rifai, persamaan asal mula. Islam menyatakan manusia berasal dari fitrah yang sama. Asal mula mereka sama, yakni diciptakan dari sari pati tanah. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS Thaha [20]: 55).

Prinsip selanjutnya yang mendasari urgensi mempertemukan kedua kubu tersebut adalah persamaan nilai. Manusia mempunyai tempat yang sama di sisi Allah. Titik yang membedakan adalah kadar dan tingkat ketakwaan seseorang. Tanpa itu, maka tak ada yang patut menjadi jurang pemisah satu sama lainnya. (QS al-Hujurat [49]: 130).

Prinsip lain yang tak boleh diabaikan pula adalah bagaimana meletakkan pandangan bahwasanya manusia akan dikembalikan pada titik dan tempat yang sama, yaitu tanah. Apabila kesemua prinsip tersebut dijadikan sebagai mindset oleh berbagai kelompok— tak kerkecuali Sunni dan Syiah—maka paling tidak, permulaan itu akan memunculkan empati kebersamaan, rasa saling menghargai, dan toleransi satu sama lain.

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS al-Qashash [28]: 88). Di era 40-an, upaya mempersatukan kedua kubu tak sebatas wacana dan isapan jempol belaka. Realisasi gagasan tersebut secara formal bahkan telah dilakukan oleh institusi Al-Azhar, Mesir.

Al-Azhar telah membentuk forum yang diberi nama Jama’at at-Taqrib Bain al-Madzahib al-Islamiyyah. Lembaga itu berada di bawah koordinasi langsung institusi Al-Azhar. Lembaga tersebut diperuntukkan sebagai wadah dialog, komunikasi, dan perumusan berbagai persoalan penting yang menyangkut aspek-aspek yang bisa dipertemukan di antara kedua kubu itu.

Lembaga itu juga hadir untuk memetakan dan memecahkan sejumlah masalah yang diperselisihkan keduanya. Sejumlah nama penting pun terlibat di dalamnya. Di antaranya, Syekh Abdu Majud Salim, Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Muhammad Taqiy al-Qammy, dan Syekh Muhammad al-Madani.

Aktivitas lembaga itu tergolong efektif mengurai benang kusut yang selama muncul di permukaan. Semangat persatuan, toleransi, dan mengesampingkan perbedaan mendasari efektivitas lembaga itu. Hasilnya cukup fantastis dan layak diapresiasi.

Forum tersebut berhasil merekomendasikan berbagai kebijkan. Di level media komunikasi dan publikasi, lembaga itu memprakarsasi terbitnya sebuah majalah, Al-Islam. Majalah tersebut menjadi corong efektif ke masyarakat Muslim di Mesir guna memberikan pemahaman tentang pentingnya persatuan umat.

Di sisi lain, forum ini berhasil menghasilkan sebuah kebijakan yang monumental. Forum merekomendasikan untuk memasukkan materi fikih bermazhab Syiah ke dalam kurikulum di berbagai tingkatan yang berada di bawah Al-Azhar. Gagasan progresif yang belum pernah ditempuh di masa itu.

Kegiatan dan aktivitas yang dilakukan Forum itu pada dasarnya adalah sikap toleransi dan kedewasaan yang pernah diteladankan oleh para salaf. Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik di Madinah, dua tokoh utama dalam rancang bangun ilmu fikih di kalangan Sunni, tak segan-segan belajar dan mengambil pendapat dari tokoh Syiah, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq salah satunya.

Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hanbal. Walaupun keduanya tak bertemu langsung dengan Imam Ja’far lantaran berbeda masa, paling tidak mereka berdua sering bertemu dan berdiskusi dengan beberapa murid Ja’far. Lagi-lagi, menurut ar-Rafi’i, perpecahan yang kini meradang antara Sunni dan Syiah lebih diakibatkan oleh faktor eskternal.

Jadi bukan perpecahan faksi dalam akidah dan internal umat. Pengaruh politik yang sporadis dan strategi pecah belah umat oleh para musuh Islam terutama Zionis merupakan faktor yang membuat Syiah dan Sunni membuat jarak. Mereka (Zionis) menginginkan kita berseteru,’’ ujar ar-Rifai’i.

Bukankah kedua aliran baik Sunni maupun Syiah diikat oleh persaudaran yang berlandaskan keimanan kepada Allah SWT? Lalu mengapa harus berseteru dan berpecah belah?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement