Rabu 20 Mar 2019 23:11 WIB

Lazismu Berbagi Jurus Optimalkan Ziswaf di Yogyakarta

Potensi ZIS di Yogyakarta mencapai Rp 15 miliar.

Rep: Kiki Sakinah / Red: Nashih Nashrullah
 Ketua Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah, Hilman Latief
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah, Hilman Latief

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah, Hilman Latief menilai harus ada penelitian yang membuat pemetaan potensi yang ada di daerah-daerah. Penelitian tersebut harus menghitung berapa jumlah masyarakat kelas menengah, dan pendapatan per kapita mereka. 

Hal ini menanggapi fenomena penghimpunan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) di Kota Yogyakarta yang masih terbilang kecil dibandingkan potensi yang ada. Dari potensi mencapai Rp 15 miliar, hanya terkumpul dana kurang lebih Rp 5,3 miliar pada 2018.   

Baca Juga

Menurut Hilman, sudah menjadi fenomena nasional jika potensi zakat selalu lebih besar dari penghimpunan dana zakat. Selain penelitian di atas, perlu penelitian tentang upah minimum regional apakah berbanding lurus dengan kebutuhan layak hidup masyarakat setempat dan lainnya 

Dia menuturkan perlu penelitian tentang kecenderungan warga dalam menyerahkan zakat ke mana. Selama ini, yang bisa dihitung adalah lembaga amil. 

Menurutnya, zakat yang terhimpun lembaga amil juga harus dihitung. Sehingga, dapat dilihat sejauh mana Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mengondisikan atau menghitung zakat yang dihimpun lembaga-lembaga yang bukan amil zakat, seperti masjid atau yayasan. 

"Saya kira pemetaan ke arah situ pun perlu dilakukan. Sehingga kita tidak hanya berbicara tentang potensi secara umum," kata Hilman, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/3). 

Lembaga amil zakat (LAZ) memang dihadapkan pada tantangan untuk mencapai potensi zakat yang ada. Untuk mendongkrak penghimpunan zakat tersebut, Hilman mengatakan lembaga amil zakat memiliki tugas (PR) untuk meningkatkan edukasi tentang pentingnya menyalurkan zakat melalui lembaga.  

Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa LAZ juga harus bisa meyakinkan publik bahwa menyalurkan zakat melalui lembaga ini manfaatnya bisa dirasakan secara lebih baik. Di samping itu, perlu adanya transparansi dan akuntabilitas yang ditunjukkan oleh lembaga amil zakat.

Dari segi program, LAZ perlu menunjukkan akuntabilitas melalui program dan dampak yang dihasilkan. Kemudian, bagaimana penerima manfaatnya, jumlah, dan lokasinya. 

Menurut Hilman, akuntabilitas sumber daya manusia atau pengelola juga penting. Dalam hal ini, SDM di LAZ harus menunjukkan kemampuan mereka dalam membuat laporan, dokumentasi, dan untuk mengkomunikasikannya kepada publik. Akuntabilitas keuangan juga perlu diperhatikan oleh lembaga amil zakat. 

Hilman menuturkan, ada sejumlah masjid atau yayasan yang penghimpunan zakatnya tinggi serta memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. 

Di Yogyakarta, misalnya, masjid yang demikian adalah Masjid Jogokariyan. Kendati begitu, menurutnya, tidak semua masjid bisa membuat laporan yang baik soal penghimpunan zakat mereka. 

Karena itulah, Hilman menekankan bahwa zakat bukan hanya berbicara tentang uang. Melainkan juga tentang kesadaran dan manfaatnya. Pihaknya ingin berkomunikasi dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) untuk menugaskan perguruan tinggi agar membuat penelitian tentang zakat. Hasilnya, penelitian zakat nantinya bisa menjadi rujukan bagi pengelola amil zakat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement