Senin 12 Nov 2018 19:00 WIB

ACT Distribusikan Bantuan Pangan untuk Pengungsi Rohingya

Selama lebih dari enam generasi, etnis Rohingya hidup tanpa kewarganegaraan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Dwi Murdaningsih
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai bantuan bahan pangan diberikan oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk masyarakat Rohingya. Masyarakat Rohingya selama ini menjalani hari-hari dengan bebagai keterbatasan dan bertumpu pada bantuan kemanusiaan yang dikirimkan kepada mereka.

Salah satunya yang tinggal di Kota Sittwe, Myanmar dengan jumlah penduduk 200.000 jiwa. Sebanyak 300 paket pangan diantarkan tim Sympathy of Solidarity (SOS) ke Desa Aung Mingalar, Sittwe.

Koordinator Tim SOS untuk Rohingya, Rahadiansyah, menyatakan tidak mudah bagi mereka untuk masuk kota tersebut. Apalagi bagi lembaga-lembaga yang membawa bantuan kemanusiaan.

"Alhamdulillah ACT berkesempatan masuk ke kota yang penduduknya seratus persen muslim. Ini tentunya berkat doa dan dukungan masyarakat Indonesia," ucapnya dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (12/11).

Paket yang diberikan ini berupa 50 kg beras, terigu, minyak, bawang, dan rempah-rempah. Desa Maung Mingalar berpenghuni 1.200 keluarga atau setara 4.200 jiwa. Desa ini salah satu yang masuk dalam wilayah kepungan pemerintah Myanmar. Masyarakatnya tidak memiliki akses untuk bekerja sehingga tidak memiliki pendapatan untuk bertahan hidup.

Hal ini semakin diperparah dengan sempat dilarangnya bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah tersebut. Selain menutup akses pemenuhan kebutuhan pangan, mereka pun mengalami blokade pendidikan dan kesehatan.

Salah satu warga Desa Maung Mingalar, Aeesyah, menyatakan rasa terima kasihnya atas bantuan yang telah diberikan oleh ACT. "Kami sangat bersyukur dan berterina kasih. Semoga Allah menerima kebaikan kalian semua, semoga Allah terus memberi kemudahan setiap kali kalian ingin membantu orang-orang yang membutuhkan. Terima kasih Indonesia," ujarnya.

Kasus Rohingya kini memasuki babak baru. Sejak September 2018, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menentang kesepakatan baru antara Myanmar dan Bangladesh untuk memulangkan ribuan pwngungsi Rohingya tanpa adanya jaminan keamanan.

Menurut UNHCR, kondisi masih tidak kondusif bagi pengungsi untuk pulang dengan aman dan bermartabat ke negara yang telah mereka tinggalkan selama lebih dari setahun lalu itu.

Selama lebih dari enam generasi, etnis Rohingya hidup tanpa kewarganegaraan. Apabila dipulangkan, UNHCR mewajibkan adanya jaminan selain mendapat kewarganegaraan, juga kebebasan bergerak, akses pendidikan, dan layanan dasar lain bagi seluruh penduduk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement