Selasa 19 Feb 2019 15:34 WIB

Sekolah Literasi Indonesia: Kisah Inda dari Konawe Selatan

DD Pendidikan berupaya untuk meningkatkan kualitas sekolah.

DD Pendidikan inisiasi Sekolah Literasi Indonesia.
Foto: Dompet Dhuafa
DD Pendidikan inisiasi Sekolah Literasi Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, KONAWE SELATAN -- Gerakan kerelawanan kian menguat dalam satu dekade terakhir ini. Banyak relawan menginisiasi gerakan kebaikan dan mengajak masyarakat turut serta dengan sukarela.

Salah satu sektor yang banyak menarik minat relawan adalah pendidikan. Seperti yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa Pendidikan (DD Pendidikan) dengan menginisiasi program Sekolah Literasi Indonesia (SLI).

Melalui program tersebut, DD Pendidikan berupaya untuk meningkatkan kualitas sekolah dari dua lingkup. Yakni kualitas pembelajaran dan pengembangan budaya sekolah berbasis literasi.

Program ini berjalan di 48 titik wilayah Indonesia dalam waktu satu tahun. Guna memastikan implementasi program berjalan lancar dan sesuai harapan, DD Pendidikan menempatkan Konsultan Relawan untuk bertugas di masing-masing wilayah.

 

Dalam keseharian, para Konsultan Relawan ini dipanggil “Kawan SLI” agar terasa dekat dan akrab. Konsultan Relawan terdiri dari anak-anak muda yang memiliki semangat pengabdian untuk pendidikan Indonesia. Mereka adalah lulusan terbaik dari kampusnya.

Mereka mendaftar dan mengikuti alur seleksi secara sukarela. Inda Dwi Septianingrum adalah salah satu Kawan SLI yang ditempatkan di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Dara asal Magetan ini harus rela menahan rindu berkumpul dengan keluarganya demi menjalankan amanah mulia. Ketika ditanya bagaimana rasanya menjadi Kawan SLI, Inda hanya menjawabnya dengan satu kata, “Enak!”.

Inda memilih jawaban itu karena ia bisa belajar sabar dan mendapatkan banyak pelajaran yang tak mungkin didapatnya dari kampus manapun. Tak mudah memang tugas yang harus diemban oleh Kawan SLI. Mereka harus dapat mengawal

implementasi program sambil beradapatasi dengan lingkungan baru.

“Rasanya tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ujar Inda.

Terlebih lagi, tidak semua sekolah terbuka dengan perubahan, sehingga tak jarang respons negatif pun diberikan kepada program. Demikian juga terhadap kedatangan Kawan SLI. Saat itulah Inda merasa kebermanfaatannya dipertanyakan.

Sebelum turun ke wilayah penempatan, para Kawan SLI telah lebih dahulu mendapatkan pembekalan di Bogor, kantor DD Pendidikan. Salah satu materi pembekalannya adalah bagaimana Kawan SLI dapat mempersuasi sekolah. Cara agar bisa masuk menjadi bagian dari sekolah maupun guru, di antaranya adalah dengan pendekatan nonformal dan nonstruktural.

“Faktanya di sini justru terjadi anomali. Cara-cara nonformal dan nonstruktural hingga terbentuk kedekatan nyatanya tidak berbanding lurus dengan keberhasilan program,” ujar Inda.

Namun menyerah sepertinya tak ada di kamus Inda. Menyadari apa yang terjadi, Inda pun meluruskan niatnya serta menguatkan keyakinan bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah ketulusan untuk menebar kebaikan.

“Semangat yang fluktuatif itu lumrah, yang terpenting adalah bagaimana kita terus bangkit setelah down dan berjuang sekuat tenaga untuk menaklukkan tantangan,” ujar Inda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement