Senin 19 Nov 2018 00:36 WIB

Dyah, Sang Pahlawan dari Korban Gempa Lombok

Ia mendahulukan membangun rumah untuk korban gempa dibandingkan dirinya sendiri.

Dyah, pahlawan dari gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Foto: Dok LAZ Al Azhar
Dyah, pahlawan dari gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM  --  Gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB),  telah  melahirkan orang-orang yang tangguh melawan bencana. Salah satunya seorang wanita bernama Dyah Ayu Pratiwi Sahertian (35th) yang kini menjabat sebagai Plt Direktur Sahabat Peduli Lombok (SPL). Meski rumahnya juga turut hancur, Dyah memilih untuk membantu warga dengan terjun langsung ke lapangan bersama dengan para relawan.

 

SPL merupakan mitra LAZ Al Azhar dalam melakukan aksi kemanusiaan di Lombok termasuk pada saat masa tanggap bencana dan recovery. Selama masa recovery kini LAZ Al Azhar dan SPL menargetkan untuk mendirikan 1.000 rumah sementara, 500 masjid darurat dan 500 sekolah darurat.

 

Dyah lebih mendahulukan membangun rumah untuk para  korban gempa Lombok dibandingkan dirinya sendiri. Di mata Dyah, Gempa Lombok memang telah menghancurkan tanah kelahirannya. Tapi, hal tersebut  tak sedikit pun menghancurkan semangatnya untuk bangkit membangun Lombok.

“Saya memang cukup tak peduli dengan diri saya sendiri. Karena bagi saya, kebutuhan saudara saya adalah prioritas utama,”  ujar Dyah dalam rilis yang diterima Republika.co.id, pekan lalu.

 

Saat ini Dyah dan relawan dari SPL tinggal di tenda bersama relawan dari berbagai daerah lainnya. Ibu satu anak ini hampir setiap hari menyusuri wilayah-wilayah yang sekiranya belum tersentuh bantuan. Selama itu juga Dyah rela bangun lebih awal hanya untuk memberikan bantuan pada para korban berupa makanan, layanan medis dan perlengkapan lainnya.

 

“Saya pribadi membuang segala ego saya sendiri, sekalipun rumah saya juga hancur. Saya merasa harus mampu bisa berbagi dengan sesama. Selagi Allah memberi saya kesempatan segala kemudahan dan segala kenikmatan. Dan bagi saya, senyum di wajah pengungsi merupakan pembalasan paling berharga atas perjuangan selama ini,”  ucap Dyah.

Sebelumnya,  Bupati Lombok Utara H Najmul Ahyar mengungkapkan hingga saat ini jumlah warga yang masih tetap bertahan atau tinggal di posko-posko pengungsian tersisa 30 persen atau hampir sepertiganya.

"Sebagian besar mereka sudah kembali ke rumah. Yang belum pulang atau pindah dari pengungsian ini tinggal 30 persen atau hampir sekitar sepertiganya," ujarnya di Tanjung, Sabtu (10/11).

Ia mengakui, pihaknya saat ini sedang memprioritaskan pembangunan hunian sementara (Huntara) bagi masyarakat terdampak gempa. Hal itu diperlukan menyusul datangnya musim hujan, sehingga warga yang terdampak terlindungi dengan baik. "Saat ini kebutuhan prioritas kita membangun huntara bagi warga yang masih tinggal di tenda-tenda pengungsian, sehingga mereka bisa tinggal dengan nyaman," kata bupati.

Ia menyebutkan, jumlah rumah rusak akibat gempa di Lombok Utara mencapai 57.314 rumah atau kepala keluarga (KK). Dari jumlah itu, 30 persen masih tinggal tenda pengungsian. Untuk itu, Pemkab Lombok Utara terus mengampanyekan gerakan kembali ke rumah dengan memberikan bantuan triplek dan seng agar warga membangun huntara di rumah masing-masing. Walaupun ketersediaan triplek dan seng juga terbatas.

"Kita ingin warga yang di tenda pengungsian pulih dan bisa kembali ke rumah,  apalagi sekarang musim hujan," katanya seperti dikutip Antara.

Ia menegaskan terus berkomunikasi dan membuka pintu kepada pihak-pihak yang ingin memberikan bantuan huntara. Bahkan, ia meminta kepala desa dan camat untuk memberikan perhatian khusus kepada warga yang masih tinggal di tenda pengungsian. Dia menyampaikan, Pemkab Lombok Utara akan mengalokasikan dana senilai Rp 5 miliar hingga Rp 6 miliar pada APBD 2019 untuk pembangunan huntara.

Sebab, kata dia, keberadaan huntara sangat penting bagi warga terdampak gempa sembari menunggu proses pembangunan hunian tetap (huntap) dari pemerintah pusat. Menurut Najmul, bantuan dari pemerintah pusat memerlukan waktu yang cukup panjang jika berkaca dari kejadian bencana di daerah lain sebelumnya.

"Bupati Bandung bilang waktu 6.200 rumah rusak saat banjir itu butuh dua tahun, Bupati Bima juga saat banjir, apalagi kita yang sampai 57 ribu rumah rusak," ujarnya.

Untuk itu, ia mendukung upaya pemerintah pusat yang menargetkan rehabilitasi dan rekonstruksi di NTB rampung pada Maret 2019.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement