Jumat 25 Jul 2014 22:03 WIB

Siapa yang Disebut Amil Zakat? (2-habis)

Ketua Umum Baznas KH Didin Hafidhuddin (tengah) bersama para pimpinan Lembaga Amil Zakat (LAZ) memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supriyanto/ca
Ketua Umum Baznas KH Didin Hafidhuddin (tengah) bersama para pimpinan Lembaga Amil Zakat (LAZ) memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Jakarta.

Oleh: Hafidz Muftisany

Dalam kaidah fikih, disebutkan hukum sarana mengikuti hukum capaian yang akan dituju. Sehingga saat hukum zakat wajib, sarana untuk mencapai pengumpulan zakat juga wajib.

Kemudian terkait kriteria amil zakat, beberapa ulama mempunyai beberapa definisi. Sayyid Sabiq mengatakan, amil zakat adalah orang yang diangkat penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya. Termasuk dalam kategori amil adalah orang yang menjaga zakat, penggembala hewan ternak zakat, dan juru tulis yang bekerja di kantor zakat.

 

Abu Bakar al-Hushaini berpendapat, amil zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak.

Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin mengatakan yang disebut amil adalah orang yang diangkat penguasa untuk mengambil zakat dari orang yang berkewajiban.

Ibnul Qosim dalam fathul qarib menjelaskan amil merupakan orang yang ditugaskan oleh imam untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat. Imam Nawawi menambahkan, yang termasuk amil, yakni orang yang mengumpulkan, mendata, mencatat, membagi, dan menjaga harta zakat.

Al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab menambahkan, amil mendapat bagian zakat sebagai upah sesuai kewajaran. Jika ia menerima lebih besar dari kewajaran maka kelebihannya disalurkan kepada tujuh golongan mustahik yang lain.

Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Prof Didin Hafidhudin mengatakan yang disebut amil adalah orang yang bekerja penuh dalam mengelola zakat. Artinya jika mengelola zakat hanya dijadikan sambilan, ia tidak berhak disebut amil.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merinci dalam fatwanya yang disebut amil zakat, seorang yang diangkat pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat atau kelompok yang dibentuk masyarakat dan disahkan pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat. Dari definisi tersebut, tetap ada peran pemerintah untuk menunjuk atau mengesahkan seseorang yang disebut amil.

Syarat-syarat amil, menurut MUI, harus beragama Islam, mukalaf, amanah, dan memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum zakat.

Mengenai dana operasional amil, MUI mengharuskan pemerintah yang menyediakan dana operasional untuk amil zakat. Jika dana yang disediakan pemerintah tidak cukup maka bisa mengambil dana dari zakat sebagai jatah amil dalam batas kewajaran.

Amil juga tidak boleh menerima bagian dari zakat jika ia sudah digaji oleh negara atau lembaga swasta. Jika tidak menerima gaji ia boleh mendapat upah dari bagian zakat sesuai batas kewajaran. Amil juga tidak boleh menerima atau memberi hadiah untuk muzaki dalam tugasnya. Terlebih, diambil dari dana zakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement