Jumat 24 Mar 2017 08:15 WIB

Tajussalatin, Machiavelli: Kisah Mahkota Para Penguasa

Warga Kampung Aquarium menuntun sepedanya usai mengikuti Pilkada DKI Jakarta di TPS 16, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (15/2).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Warga Kampung Aquarium menuntun sepedanya usai mengikuti Pilkada DKI Jakarta di TPS 16, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (15/2).

"Tak ada benar dan salah dalam politik. Yang ada hanyalah kalah dan menang!’’ Mungkin sebagian orang hari ini masih percaya dengan jargon tersebut. Apalagi bila mengingat kuatnya gaung pesta sekaligus 'hura-hura demokrasi' lima tahunan berupa kampanye pemilu dan pilkada yang sekarangi tengah melindas rakyat di akar rumput.

Dan memang secara kasat mata tampak jelas yang ada di kepala para politikus dan calon politikus hanyalah kata ‘menang’. Bila diibaratkan kucing, apa pun warna bulunya, tak peduli ‘putih’ atau hitam, asal bisa menangkap tikus maka tak perlu dipersoalkan. Sebab, yang menang itulah yang akhirnya menulis sejarah serta menentukan benar dan salah.

Dahulu ada nasihat yang begitu ‘hebat’ datang dari seorang pegawai negeri asal Italia yang pada 1523 menulis buku Il Principe (Sang Penguasa), Firenze Niccolo Machiavelli. Dalam buku itu dia menuliskan berbagai metode untuk meraih kekuasaan sekaligus mengukuhkannya. Dia mengatakan, hendaknya seorang pemimpin itu punya dua wajah, yakni licik seperti rubah agar tahu akan perangkap atau seperti singa agar ditakuti rakyatnya.

Bukan hanya itu, Machiavelli pun menyarankan bahwa seorang pemimpin atau penguasa itu tidak perlu mempunyai sifat yang baik. Bila pun punya, kesan tersebut hanyalah sebagai sebuah hal yang pura-pura belaka. Akibatnya, bukan salah seorang pemimpin bila menipu rakyatnya karena sejatinya semenjak semula rakyatnya sendiri sudah menyediakan diri untuk ditipu.

Dan tentu saja buku ini semenjak dilahirkan menjadi sebuah hal kontroversial. Bagi pihak yang sepaham pada pemikiran itu mereka menyatakan buku ini sebagai karya terbaik tentang politik sebab berkata apa adanya tentang kekuasaan. Sedangkan bagi yang kontra, mereka menuduh buku ini adalah kitab politik menghalalkan segala cara untuk berkuasa karena menganggap pemimpin atau penguasa tak ubahnya serigala atau pemangsa bagi sesama. Mereka kemudian menyinggung jargon dari dramawan Romawi pada tahun 195 SM, "Plautus: Homo Homini Lupus!"

Namun, berbeda dengan Machiavelli, pada era yang hampir sama, yakni  1603 M, di Kerajaan Aceh Darussalam, sebuah kitab berbahasa Melayu yang menyoal kekuasaan, Tajussalatin (Mahkota Para Sultan) ditulis oleh Bukhari al-Jauhari. Dan tak sama dengan masa Machiavelli yang menulis bukunya ketika Italia berada dalam masa ‘depresi besar’, Tajussalatin ditulis ketika kerajaan ini dalam puncak kemashuran. Aceh menjadi pusat perdagangan internasional dan kebudayaan Melayu. Penguasa kerajaan saat kitab ini ditulis tengah berada di tangan Sultan Sayid al-Mukamil (1590-1604 M), yang merupakan kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Dalam kitab itu dipesankan betapa seorang pemimpin harus menjunjung kemulaian sikap. Tak hanya patuh pada hukum, dia juga harus memuliakan akhlak atau etika. Tujuan berkuasa dengan menghalalkan segala cara, menumpuk kekayaan, hidup mewah berfoya-foya sama sekali tak diperbolehkan. Yang paling penting lagi seorang pemimpin harus dapat membedakan yang baik dan buruk bagi dirinya, masyarakat banyak, dan kemanusiaan.

Nah, sekarang para calon penguasa yang kini sibuk berkampanye tinggal memilih cara Machiavelli atau al-Jauhari? Mudah-mudahan rakyat yang memilihnya juga tak menyedidakan diri untuk ditipu. Dan mudah-mudahan pula demokrasi tidak jadi sekedar jargon yang nyinyir yang oleh tetua di pedalaman Jawa disemoni sebagai tindakan: Sing gede dimok-mok, sing cilik dikerasi (Yang besar ditepuk-tepuk dengan penuh hormat, yang kecil keras ditindas)!

Selamat datang sang Penguasa!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement