Selasa 13 Nov 2018 05:30 WIB

Abdullah Hakim Quick Kagumi Cara Hidup Rasulullah

Ia sungguh-sungguh ingin hidup seperti Muslim.

Mualaf (ilustrasi)
Foto: Onislam.net
Mualaf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdullah Hakim Quick lahir dari keluarga Kristiani yang sangat taat beribadah dan pekerja keras. Dengan demikian, sejak kecil pria yang dilahirkan di Boston, Amerika Serikat (AS), ini mempelajari nilai-nilai kebaikan yang diberikan keluarganya. Sejak muda pun dia telah percaya akan kehadiran Tuhan, sementara banyak pemuda seusianya menolak percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar dibanding alam semesta.

"Saya berdoa sepanjang waktu dan menerima konsep Tuhan yang diajarkan Kristen dengan baik," katanya.

Namun, jiwa mudanya tak luput dari keinginan yang luar biasa besar untuk mengetahui lebih dalam makna penghambaan akan Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Quick yang saat itu baru berusia 17 tahun mulai mempertanyakan Tuhan yang dia sembah. Sejumlah ritual yang diselenggarakan oleh agamanya saat itu mulai tidak masuk akal baginya.

"Banyak orang menerima saja apa yang harus dilakukan sebagai penganut sebuah agama. Mereka menganggap pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh agamanya sebagai misteri. Sehingga, tidak perlu dicari jawabannya," katanya. 

Quick bukanlah orang yang senang mengesampingkan rasa penasaran dalam dirinya. Keinginannya yang besar untuk mengetahui lebih banyak tentang agamanya dan konsep ketuhanan yang sesungguhnya membuat dia berhadapan dengan tumpukan buku, film dokumenter, dan ratusan informasi dari majalah ataupun koran yang dibacanya.

"Beruntung ketika itu saya tinggal di dekat sejumlah universitas besar di AS, seperti MIT atau Cambridge, sehingga saya memiliki akses yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Sebab, perpustakaan di universitas-universitas tersebut terbuka untuk umum," tutur pria yang pernah menjabat sebagai direktur Discover Islam Centre di Cape Town, Afrika Selatan, dan penasihat khusus pada Kementerian Hubungan Islam di Bahrain ini.

 

Dia pun akhirnya tak sebatas mempelajari agamanya, tetapi menengok agama lain di luar Kristen. Ia pun berusaha mengenal dunia di luar Amerika. Dia mengawali pencariannya dengan mempelajari asal usul nenek moyangnya yang berasal dari Afrika.

"Ketika itu pula saya mengenal tentang Kerajaan Mali. Sebuah kerajaan besar di Afrika yang mengenal Islam sebagai agama utama," katanya. Quick kemudian malah penasaran dengan Islam. Mengapa kerajaan hebat itu memilih Islam sebagai landasan spiritualitas mereka.

Dia kemudian mempelajari Timur Tengah, tempat di mana Islam dilahirkan. Sebelumnya, Quick memang sudah tahu Timur Tengah bahwa masyarakat di sana punya cara berbeda dalam menggambarkan Tuhan. Namun, ia tidak tahu lebih lanjut. Sejak itulah, dia mulai mengenal Islam lebih jauh. Ternyata, agama ini sangat memukau.

"Terutama bahwa Islam tidak mengenal perbedaan ras. Bahwa Islam tidak membeda-bedakan seseorang atas status, warna kulit, dan segala nilai sosial yang melekat di diri mereka," katanya.

Hal semacam itu tidak ditemukannya di AS. Menjadi seorang Afro-Amerika dan hidup pada 1960-an seakan sebuah kutukan saat itu. Bahkan, ketika kuliah pada program studi orang kulit hitam di Universitas Oregon dan Pensylvania, dia tidak menemukan jawaban yang jelas mengapa manusia bisa memiliki hak untuk memberikan label untuk manusia lainnya.

Dia merasa muak. Terlebih ketika itu, AS memulai invasinya ke Vietnam dan mengajak sebanyak mungkin anak muda bergabung dalam perang tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement