Senin 17 Sep 2018 15:27 WIB

Amy Luz U Catalan Jemput Cahaya Iman di Oman

Pada 2013 menjadi masa pencarian kehidupan spiritual perempuan tersebut.

Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Amy Luz U Catalan yang sukses merasa hampa dan gundah. Ketidakpuasan merayap dalam setiap jengkal hidupnya.

Kesuksesan karier dan gelar akademik yang disabet perempuan dari keluarga Katolik taat ini, tak membuat ruang hatinya terisi dengan penuh, bahkan ia selalu merasa ada yang hilang dari hidupnya.

Padahal, sejak kecil Amy, begitu kerap disapa, mendapatkan pendidikan agama dari sang ayah yang menjadi jemaat Lasallian, sebuah kelompok agama yang didirikan pendeta Prancis Jean Baptiste de La Salle. Ayahnya sampai ke Filipina dalam rangka menyebarkan misi pendidikan Lasallian.

Pendidikan formal pun ia tuntaskan di lembaga pendidikan Katolik. Demikian halnya dengan perguruan tinggi, dua gelar sarjana sekaligus ia tempuh di De La Salle University, Manila, yaitu jenjang strata satu dan doktoral.

Perasaan itu terakumulasi selama bertahun-tahun. Waktu itu, Amy merasa ada sesuatu yang hilang yang bahkan tidak bisa ditambal oleh penghargaan akademik atau hubungan asmara antaranak manusia.

Ditambah lagi, kematian ayah tercinta pada 2011 memperburuk rasa kehilangan dan kekosongan itu.  "Saya merasa hanya bekerja untuk bertahan hidup, bukan untuk menikmati hidup. Saya telah berharap terlalu banyak," ungkapnya.

Jauh di lubuk hati, Amy menghadapi krisis kerohanian. Ia berhenti ke gereja dan mendengarkan misa. Pada saat itu gereja Katolik tengah dilanda masalah internal. Amy mulai mempertanyakan doktrin dan ajaran yang dia pelajari dari pendidikan Katolik.

Para imam berkhotbah tentang keadilan dan cinta, sedangkan mereka sendiri melakukan pelanggaran paling mengerikan terhadap umat mereka. Amy kecewa. Sederhana saja, orang yang mengaku paling memiliki otoritas keimanan pada Tuhan, bahkan menjadi perantara Tuhan, sudah melanggar prinsip-prinsip dasar keimanan. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan.

Keluar dari Katolik, Amy mencoba belajar agama Buddha. Tapi, itu hanya sebuah pertemuan singkat lantaran doktrin itu tidak menarik bagi dia. Ajaran yang menurut Amy tidak jelas sama sekali.

Ia bahkan lebih bingung tentang tujuan hidupnya. Tahun demi tahun terlewati. Perjalanan Amy ke negara-negara lain untuk menyajikan makalah dan menghadiri konferensi internasional juga tidak banyak membantu. Amy masih merasa kosong.

Hingga, datanglah kesempatan itu, saat Amy pergi ke Oman pada 2012. Ia tak pernah menyangka kedatangannya ke negara ini untuk pertama kali bisa menjadi awal perubahan besar dalam hidupnya. Amy sebelumnya tidak tahu banyak tentang negara itu sampai dia diminta menjadi instruktur di Technical and Administrative Training Institute (TATI) Oman.

Keberadaannya di wilayah jazirah Arab ini pun murni untuk keperluan pendidikan. Amy sama sekali tidak berharap menjadi seorang Muslim. Muslim terlalu akrab dengan kata 'terorisme' dan 'jihad'.

Sadar

Tak butuh waktu lama, Amy segera menemukan kesalahpalaman media soal Islam. Apa yang dikatakan media, kerabat, dan koleganya bertentangan dengan realita di Oman. Ia menilai, ada kesalahpahaman dan bias terhadap umat Islam. Tatkala berkeliling ke pelosok negeri itu, ia yakin telah menemukan tempat yang dia kehendaki.

Tempat untuk mengembangkan diri, karier, dan kehidupan. Semua orang bersikap baik sejak pertama kali dia datang. Seiring lekatnya interaksi hari demi hari, Amy mulai tertarik dengan budaya dan tradisi mereka. "Pada waktu itu juga, saya jatuh cinta dengan Oman dan orang-orangnya! Saya kira, itu awal perjalanan saya memeluk Islam" ungkap Amy.

Lantaran mayoritas warga Oman memeluk Islam, Amy tertarik mempelajari Islam. Ia mulai membaca Alquran yang dibawakan Nishat Furkunda, koleganya asal India. Amy bahkan bertanya pada beberapa rekan senegara soal Islam. Tapi, kebanyakan menjawab dengan nada negatif.

Pada 2013 menjadi masa pencarian kehidupan spiritual perempuan tersebut. Ia mengamati agama dan pengaruhnya terhadap perilaku siswa. Amy terkesan. Anak-anak mengatakan, Insya Allah, setiap kali dia menyuruh mereka mengerjakan sesuatu. Pemisahan siswa laki-laki dan perempuan di kelas juga menarik perhatian Amy. Itu menjadi semacam antitesis atas apa yang ia perjuangkan sebagai kesetaraan jenis kelamin.

Ketika dia membaca Alquran dan buku-buku keislaman, Amy menemukan, baik Kristen maupun Islam berlandaskan pada ajaran cinta, kasih sayang, dan kebaikan. Hanya saja, perbedaan antara keduanya juga cukup memukul hati Amy. Iman Kristiani yang menganggap Yesus sebagai anak Allah tidak cocok dengan Islam. Islam hanya menganggap Yesus atau Isa sebagai seorang Nabi yang membawa pesan Tuhan kepada kaumnya.

Amy memikirkan hal ini untuk waktu yang sangat lama. Dia bertanya pada diri sendiri, apakah dia bisa menerima gagasan ini. Ketika Amy membaca Alquran, disebutkan Isa Al Masih akan turun untuk kedua kalinya pada hari kiamat. Lalu, tanya Amy, di mana peran Nabi Muhammad saat itu? Benarkah Muhammad seorang nabi? Ia menjadi gelisah dan tidak yakin dengan informasi yang dia terima.

Suatu sore, seorang kenalan di Oman yang bekerja untuk Pusat Informasi Islam di Muskat menyerahkan publikasi tentang Nabi Muhammad. Membaca publikasi itu, semua menjadi jelas.

Muhammad adalah utusan Allah. Dia membawa ajaran yang sama seperti ajaran Nabi-Nabi sebelumnya; tauhid. "Jadi, saya pikir kalau saya percaya semua Nabi sejak Adam sampai Isa, mengapa saya tidak percaya pada Muhammad?"

Sampai di sini, Amy belum bersyahadat. Puncaknya, saat Amy menghadiri ceramah di Departemen Pusat Pendidikan dan Pelatihan di Nizwa yang disponsori Islamic Information Center Masjid Agung Sultan Qaboos.

Fatima Al Harrasi, seorang pembicara, melemparkan pertanyaan pada Amy. "Mengapa Allah menciptakan kita?" Amy menjawab, "Ada dua alasan; untuk menyembah-Nya dan mencintai ciptaan-Nya." Jawaban itu sangat tepat. Bagi Amy, itu meyakinkan bahwa imannya sejalan dengan Islam.

Ia merasa semua semakin logis. "Saya merinding dan air mata mulai jatuh. Saya tahu, detik itu saya akan menjadi seorang Muslimah." Amy kemudian menelepon Saud, rekan dekatnya di kantor. Perempuan itu menangis saat berbicara di telepon. Saud meyakinkan. Tidak ada gunanya menunda keputusan untuk menjadi seorang Muslim.

Akhirnya, Amy memutuskan masuk Islam tepat pada 3 Mei 2015. Ia tak henti gemetar menjelang ikrar syahadat. "Saya telah menemukan kebenaran. Seperti banyak mualaf yang mengalami kekosongan hidup, saya berusaha mencari makna. Menjadi seorang wanita Muslim di masa kontemporer adalah sumber sukacita dan kebahagiaan di tengah dekadensi yang merusak dunia," aku Amy.

Kedamaian dan kebahagiaan luar biasaa ia rasakan setiap kali sujud, saat dahinya menyentuh tanah. Perempuan itu kini sibuk menjadi dosen bahasa Inggris di Nizwa College of Technology, Oman.

sumber : Oase Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement