Senin 11 Jun 2018 18:15 WIB

Bennet: Puasa Menuntunnya Kepada Islam

Islam baginya adalah agama kasih sayang.

Rep: Ratna Ajeng Tedjomukti/ Red: Agung Sasongko
Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pengalaman keagamaan sungguh menenangkan hati. Ketika merasakan dan tenggelam di dalamnya, seseorang tak ingin lepas darinya. Objek pengalaman ini adalah keintiman dengan yang abstrak: merasakan kedekatan dengan Yang Ilahi.

Ketenangan itu bisa seperti bayi dalam pelukan ibunya. Tak ingin dipisahkan. Anak akan berteriak, menangis, dan mencari-cari, jika ibunya pergi. Keadaan itu juga dialami orangorang yang menemukan hakikat agama yang menenangkan hati. Pada titik tertentu, seseorang pasti sampai pada nikmat nya rasa beragama (eros religious).

Bennet, wanita asal New York Amerika Serikat pada mulanya bukanlah sosok agamis. Sejak kecil dia dibesarkan dalam lingkungan yang jauh dari agama. Orang tuanya lebih banyak beraktivitas untuk keduniaan. Ayah dan ibunya yang berdarah Amerika-Afrika, lebih memilih aktif dalam berbagai kegiatan sosial.

Dalam sepekan, ritual agama hanya dijalaninya sebagai formalitas di akhir pekan. Ketika itu orang-orang tampil berpakaian rapi menuju gereja. Selain hari Ahad, dia mengunjungi gereja untuk alasan tertentu, seperti menghadiri pernikahan atau pembaptisan.

 

Pernikahan adalah hal sakral, proses pengikatan dua cinta dalam kebersamaan. Baginya momen ini harus dihadiri orang banyak. Merekalah saksi bisu ketulusan dan keseriusan kedua mempelai yang memulai kebersamaan sepanjang hidup. "Saya sering pergi ke gereja hanya untuk acara-acara tertentu," ungkap Bennet seperti dikutip dari about islam.net.

Sejak kecil hingga dewasa dia terus melakukan hal tersebut. Agama, menurutnya, hanyalah rutinitas, sekadar relaksasi dari berbagai kesibukan. Semakin dewasa, dia semakin merasakan kehampaan dan kegelisahan. Seperti ada yang kurang dalam hidup yang dijalani. Rasa itu terus tumbuh dan bergejolak dalam batin.

Wanita itu pun bertanya-tanya, perasaan apakah ini? mengapa terus ada dalam dirinya? Bagaimana cara menghilang kannya? Dia kemudian mempelajari agama-agama. Kata kunci yang dicarinya adalah ketenangan. Bennet mencari tahu bagaimana caranya meraih rasa tersebut. Tahun 2009 menjadi waktu yang berharga baginya.

Kala itu, dia menemukan satu ibadah yang spesial: puasa. Tak seperti ibadah lainnya, puasa lebih tersembunyi. Hanya Tuhan dan diri sendiri yang tahu sedang menjalani puasa. Orang lain baru mengetahui jika yang menjalani memberitahukan dirinya sedang menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa.

Ibadah ini ada di berbagai agama, tapi Bennet lebih tertarik dengan Islam. Agama itu mewajibkan penganutnya untuk berpuasa selama 30 hari pada Ramadhan. Sungguh luar biasa. Bagaimana mungkin orang tidak sarapan dan makan siang setiap hari dalam sebulan? Apa iya bisa?

Bulan Ramadhan tiba. Umat Islam di seluruh dunia menjalani puasa wajib. Teman-teman Bennet yang Muslim menjalani rukun Islam ketiga itu. Tak mau kalah, Bennet diam-diam ikut berpuasa. Dia ingin merasakan sendiri seperti apa situasi orang yang tak makan dan minum dalam sehari.

Rasanya lebih tenang. Bennet yang biasanya gampang emosi menjadi lebih sabar, sifat yang rasanya sangat pahit meski akibatnya sangat manis. Kelak dia memahami substansi puasa, bukan sekadar menjauhi diri dari makan dan minum, tapi melindungi diri dari yang haram, perbuatan tercela, dan segala keburukan.

Pemahaman puasa seperti itu dia temukan dalam Islam. Ibadah ini merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Ketika umat Islam ber puasa pada Ramadhan dia ikut menjalani Ramadhan dengan kebahagiaan, tapi dirinya belum menjadi Muslim.

Dia ingin terus menjadi dirinya sendiri. Setelah beberapa pekan saum, dia merasakan dirinya tak dapat menghindar dari keimanan kepada Allah. Hatinya terpaku pada keesaan Allah, konsep ketuhanan dalam Islam. Akhirnya pada pekan ketiga berpuasa Ramadhan dia memutuskan untuk bersyahadat, mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Setelah mengenal Islam dan memeluknya, dia merasakan hidup yang jauh berbeda, lebih baik. Apalagi Bennet tak hanya sekadar menjadi Muslim, tetapi juga mempraktikkan seluruh kewajiban nya kepada Allah SWT.

"Islam sungguh luar biasa dan saya berharap suatu hari nanti Allah akan memberikan hidayah kepada keluarga saya untuk memeluk Islam," jelas dia.

Puasa Ramadhan terus dijalaninya sambil melaksanakan rutinitas: bekerja sejak pagi hingga sore hari. Semuanya berjalan baik seperti hari-hari dimana dia tidak berpuasa. Setelah melewati satu hari tersebut, dia berkomitmen untuk berpuasa selama Ramadhan.

Indahnya berpuasa bagi dia adalah rasa cinta yang tidak pernah diberikan oleh seorang pun dari anggota keluarganya, sungguh berbeda. Setelah meyakini Ramadhan membawa perubahan kepada dirinya, dia memutuskan memeluk Islam.

Dia meyakini setelah menjadi Muslim kehidupannya akan berubah menjadi lebih baik. "Sebelum berpuasa, saya merasa sengsara, sering bertengkar dan beradu argumen, setelah saya berpuasa dan memeluk Islam, hati saya terasa damai," jelas dia.

Selama Ramadhan, setelah menjadi mualaf, Bennet mengunjungi saudara sesama Muslim. Mereka saling bertukar pikiran tentang Islam dengan berbagai di namikanya. Sepulang bekerja, dia selalu meluangkan waktu untuk pergi ke pusat Islam di Brooklyn. Tak banyak yang dilakukan, hanya menghabiskan waktu bersama mereka sepanjang tahun.

Bennet mendalami Islam dengan mereka dan belajar beribadah lainnya seperti shalat lima waktu dan menghafal ba caan-bacaan shalat. Ketika berbuka puasa pun mereka bersama-sama. Bennet telah melihat semua agama tetapi perasaan ini tidak didapatkannya di agama lain.

Bahkan, ketika tinggal bersama keluarga kandungnya, dia tidak merasakan yang sama ketika berkumpul dengan saudara Muslimnya. Keluarga tidak terlalu mempermasalahkannya men jadi Muslim. Mereka menerima Bennet apa adanya.

"Dengan saudara seiman aku belajar memeluk. Saya telah belajar untuk mem beri tahu orang-orang tentang cinta," tutur Bennet. Islam baginya adalah agama kasih sayang. Di dalamnya ada nilai persaudaraan yang tidak hanya dibangun dengan nilai-nilai sosial, tapi juga keimanan. Kebersamaan dalam Islam berkaitan erat dengan keyakinan. Menurut dia, inilah salah satu keunggulan Islam, mem posisikan keakraban, persaudaraan, dan pertemanan, melampaui kedunia an yang sementara dan penuh kefanaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement