Kamis 04 Jan 2018 17:00 WIB

Cassie Merinding Mendengarkan Lantunan Surah an-Nahl

Rep: Ratna Ajeng Tedjomukti/ Red: Agung Sasongko
Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cassie, gadis berusia 23 tahun, berprofesi perawat. Tugas pertamanya adalah melayani pasien paruh baya pengidap Alzheimer di sebuah rumah sekitar Inggris. Saat bertemu pertama kali, wanita itu mendapatkan catatan medis. Dari laporan itu, Cassie mengetahui bahwa pria tersebut adalah Muslim yang belum lama mengimani Tauhid.

Catatan ini sangat berguna karena terkait cara pengobatan yang sesuai dengan keyakinan atau tidak.

"Saya tahu dari sini ji ka perlu mempertimbangkan beberapa cara pengobatan yang mungkin berten tangan dengan keyakinan. Oleh karena itu, saya mencoba menyesuaikan perawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien," ujar Cassie.

Saat merawat pria ini, Casssie membeli daging halal dan memasak untuk pasiennya. Dia juga harus memastikan tidak memberikan makanan yang mengandung babi atau alkohol. Seperti itulah Islam membimbing pemeluknya untuk selalu mengonsumsi makanan halal.

Perawatan Cassie ternyata berdampak positif. Pasien mengalami perkembangan cukup baik. Rekan kerjanya merasa heran melihat Cassie yang masih begitu telaten me rawat pria tersebut sesuai dengan keyakinannya. Bagaimana bisa Cassie melakukan perawatan dengan mengikuti keyakinan si pasien.

Bukankah, itu bertentangan dengan keyakinan sendiri yang sudah lama tertanam di hati. "Tetapi, saya mengerti seseorang yang memiliki keyakinan layak mendapatkan komitmen untuk dihormati, meskipun mereka tidak dalam posisi untuk mengerti," jelas dia.

Setelah beberapa pekan bersama pasien tersebut, Cassie mulai memper hatikan aktivitas rutin si pasien.

Sejak pagi sebelum ma tahari terbit, pasien sudah bangun untuk beribadah. Awalnya, Cassie berpikir bahwa aktivitas yang dilakukan adalah gerakan meniru. Gerakan ini mulai mengangkat tangan, membungkuk, lalu menempelkan kening di lantai.

Saat itu, Cassie belum memahami gerakan tersebut. Saat mengamati, dia juga mendengar kalimat yang diucapkan dan diulang-ulang menggunakan bahasa yang berbeda. "Saya tidak tahu bahasa apa itu karena pengucapan tidak jelas, tetapi saya tahu, jika itu kalimat sama yang diulang setiap hari," jelas dia.

Selain itu, pasiennya melarang Cassie menggunakan tangan kiri saat menyuapinya. Cassie paham, ini terkait dengan keya kinan agamanya, tetapi tidak tahu alasan di balik pelarangannya.

Untuk memahami keyakinan pasiennya, Cassie berusaha lebih ke ras mempelajari Islam.

Rekannya pun menyarankan Cassie untuk berdiskusi di sebuah aplikasi sosial media menganai Islam.

Bukan hal mudah. Cassie harus berkomunikasi dengan sejumlah orang untuk mengetahui tentang Islam.

Muslim satu- satunya yang dikenal hanya si pasien. Dia berpikir untuk mulai berbicara dengan seseorang yang aktif dan menanyakan berbagai pertanyaan mengenai Islam.

Dia mulai men cari tahu seperti apakah Islam dalam ruang obrolan sebuah media sosial. Dia bertanya me nge nai gerakan ber ulang yang dila ku kan pasiennya secara rutin. Ak hir nya, dia men dapatkan jawaban dari obrolan terse but. Gerakan berulang yang rutin dila kukan saat pagi, siang, dan malam merupakan shalat.

Dia masih tidak percaya hingga melihat tautan shalat di Youtube. "Saya terkejut, seorang pria yang telah kehilangan semua kenangan akan anak-anak, pekerjaan, dan hampir tidak dapat mengingat makan dan mi num, tetapi mengingat tidak hanya gerakan shalat, tetapi bacaan shalat menggunakan bahasa yang lain," tutur dia.

Bagi Cassie, hal ini bukan sekadar keajaib an, ini adalah sesuatu yang luar biasa.

Me mang, pasien itu seorang yang saleh, tapi ba gaimana mungkin pasien Alzheimer bisa me ngingat hal tersebut. Keimanan dan keya kinan pasien ini membuat Cassie semakin bersemangat untuk mempelajari lebih banyak mengenai Islam. Dia merawat pa sien nya sebaik mungkin. Dia terus berdis kusi di media sosial dan medapatkan tautan terjemahan Alquran, lalu mende ngarkannya.

Cassie mengaku merinding saat mendengarkan lantunan surah an-Nahl. Dia terus mengulanginya beberapa kali dalam sehari. Dia pun menyimpan rekaman tilawah Alquran itu di iPod-nya. Dia juga memperdengarkan lantunan Alquran tersebut kepada pasiennya. Sang pasien tersenyum dan menangis.

Berbagai pengetahuan Islam yang didapat dari media sosial diterapkannya untuk merawat pasien.

Ternyata, secara tidak langsung, hal tersebut berpengaruh besar pada dirinya sendiri. Cassie mulai merenungkan apa yang dipelajari untuk diri sendiri. Dia mempertanyakan kembali kehidupan yang selama ini dijalaninya.

"Saya tidak pernah benar-benar meluangkan waktu untuk merenungkan hidup. Saya tidak pernah tahu, ayah dan ibu saya meninggal saat berusia tiga tahun.

Saya dan saudara laki-laki saya dibesarkan oleh kakek dan nenek yang meninggal beberapa tahun lalu," jelas dia.

Terlepas dari rasa kehilangan, Cassie selalu merasa bahagia. Hanya, ketika dia bersama pasiennya, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Kedamaian dan ketenangan yang dirasakan pasiennya tidak dimiliki olehnya. Meskipun memiliki penyakit yang membuat menderita, si pasien terlihat tenang dan menikmati berbagai aktivitas keagamaan yang rutin dilak sanakan.

Cassie ingin memiliki rasa kedamaian dan kete nangan yang dimiliki mes ki tak ada seorang pun di se kitarnya. Cassie kem bali men dalami Islam. Dia mu lai mendatangi mas jid dan terus berdis kusi di media sosial. Dia selalu men da patkan jawab an dan tidak dapat melaku kan apa pun selain menerima jawaban itu. Wanita itu jauh da ri aga ma. Bukan karena ti dak mau, melainkan tidak ta hu ba gai ma na cara melaku kannya, mes ki pun dia yakin bah wa Tuhan itu ada.

Suatu malam, dia kembali berdiskusi di media sosial. Salah satu pembicara ber tanya padanya, tetapi hingga saat itu dia belum memiliki pertanyaan.

Sebalik nya, pem bi cara menanyakan Cassie yang mem buat nya berhenti bertanya dan belum me nerima Islam. Cassie belum dapat menjawab.

Dia kemudian pergi ke masjid untuk melihat Muslim melaksanakan shalat. Imam masjid kemudian menanyakan pertanyaan yang sama, tetapi dia belum bisa menjawab.

Kemudian, dia pergi ke rumah pasien untuk kembali bertugas. Dia menyuapi pasien dengan perlahan sambil menatap matanya.

Saat itu, dia tersadar, pasien tersebut dihadirkan pada hidupnya karena suatu alasan. Cassie mengaku, alasan satu-satunya dia be lum menerima Islam adalah karena takut.

Te tapi, dia takut menerima sesuatu yang baik dan merasa tak layak mendapatkan hal itu.

Bersyahadat

Pada sebuah sore, Cassie pergi ke masjid dan bertanya kepada Imam masjid cara bersyahadat. "Apakah saya dapat menyatakan iman saya dengan menyebut tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Dia membantu dan membimbing saya melalui apa yang perlu saya lakukan selanjutnya," jelas dia.

Setelah mengucapkan syahadat, dia tidak dapat menggambarkan dan menga takan apa yang dirasakannya.

Mungkin, baginya seperti seseorang telah mem bangun kannya dari tidur. Kemudian, dia dapat melihat pandangan di hadapannya lebih jelas.

Bersyahadat membuat seseorang bahagia. Dia merasa damai dan tenang. Apa yang dilihat dari mata pasiennya kini dapat dira sakannya sendiri. Setelah bersyahadat, orang pertama yang diberi tahu keisla mannya adalah si pasien. Dia mendatangi pa sien tersebut, bahkan sebelum membuka mu lut, dia menangis dan tersenyum kepadanya.

Dia bersimpuh dihadapannya, Cassie merasa berutang. Dia pulang ke rumah dan berbicara ke teman-temannya di media sosial. Dalam sebuah percakapan, dia me ngu langi syahadatnya. Mereka semua sangat membantu meskipun belum pernah bertatap muka sekali pun. Kedekatan yang dirasakan diyakininya karena berkaitan dengan keimanan, bukan semata-mata persahabatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement