Rabu 23 Jul 2014 06:09 WIB

Maya Wallace: Kemudahan Menuju Islam (1)

Mualaf (Ilustrasi)
Foto: Onislam.net
Mualaf (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Berislamnya Maya semakin lengkap dengan berjilbab.

Semasa anak-anak, Maya Wallace mengaku termasuk yang pendiam dan tidak banyak memiliki teman. Lingkungannya hanya sekolah dan rumah kala itu. Di sekolah ia aktif di klub atletik dan gimnastik.

Sedangkan, di rumah Maya bersama ibu dan saudara laki-lakinya pun lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi dibanding bermain di luar rumah. Saat liburan pun, Maya memilih bermain boneka saja di dalam rumah dan memasak bersama ibunya.

Rekreasi ke luar rumah biasa mereka lakukan saat musim panas. Maya dan saudara laki-lakinya akan mengunjungi kakek dan nenek mereka di Earshire, Skotlandia. Mereka berenang, bermain, belanja, dan memasak bersama.

Tidak ada kitab suci apa pun di rumah keluarga kelahiran Glasgow 1988 ini. Agama juga bukanlah topik yang sering Maya dengar dalam berbagai pembicaraan keluarga mereka.

Mayoritas keluarga mereka merupakan saintis, tapi ilmu yang mereka miliki tidak memiliki dampak terhadap keyakinan atas Tuhan.

Menginjak remaja Maya sempat menanyakan agama keluarganya kepada ibunya, tapi tak banyak informasi yang didapatnya.

Saat SMA, Maya memutuskan mengambil kelas agama. Ia ingin tahu tentang agama, tapi bukan untuk menjadi salah satu penganutnya. Ia hanya ingin memuaskan penasarannya tentang agama.

Tapi yang Maya dapatkan tidak memuaskan, ia tidak mendapat jawaban logis soal mengapa manusia perlu beragama, misalnya.

Guru di sekolahnya tidak mengajarkan Islam dan informasi yang ia dapat tentang agama ini hanya hal-hal negatif.

“Mendengar itu saya merasa tampaknya saya tidak akan jadi Muslim saat itu,” ujar Maya. Ia mengaku tumbuh seperti remaja Inggris pada umumnya, pergi clubbing dan minum alkohol.

Hingga pada 2005, Maya bergabung di sebuah call center kegiatan sosial. Di sana, teman-teman Maya didominasi Muslim Pakistan. Mereka jauh berbeda dengan apa yang selama ini ada di pikiran Maya tentang Islam.

Baru kali itu Maya merasakan pertemanan yang sebenarnya. Teman-temannya justru memberi pengaruh positif. Mereka saling peduli dan menghormati Maya meski berbeda keyakinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement