Sabtu 14 Apr 2018 16:09 WIB
Kisah Tarhim, Shalawat Penuh Kerinduan (Bagian IV)

Shalawat Tarhim, Melisma yang Memantik Rindu

Ada ikatan batin yang kuat antara shalawat tersebut dengan Indonesia.

Di bulan Ramadhan 2018 atap Masjid Nabawi akan dipakai sebagai tempat Itikaf.
Foto:
Masjid Nabawi diguyur hujan Selasa pagi (21/11).

Dalam Shalawat Tarhim, Syekh Al-Husary terbilang efektif menerapkan teknik-teknik tersebut. Dari segi konteks, ia memilih lirik-lirik penuh kerinduan, menyanyikannya dengan nada yang tak sekalipun meleset dari skema, kemudian menutup masing-masing larik dengan melisma panjang yang menuruni tangga nada tetapi naik tetiba pada akhir cadence.

Syekh Hussary juga menjeda bacaannya dan kerap memulai secara dramatis. Kombinasi hal-hal tersebut menimbulkan kesan bahwa Syekh Al-Husary bersungguh-sungguh. Bahwa rindu dan penghormatannya pada Nabi Muhammad SAW tak dibuat-buat.

Ada ikatan batin yang kuat antara Shalawat Tarhim dengan Indonesia.

Cara menutup larik dengan melisma menuruni tangga nada seperti pada Tarhim juga jamak digunakan para musisi Blues di Amerika Serikat guna memicu kerinduan dan nelangsa dalam aransemen musik mereka. Bukan rahasia, seperti dicatat profesor sejarah Afrika-Amerika, Sylfiane Diouf, musik Blues punya akar dari tradisi melisma yang dibawa para budak dari Afrika Barat yang sebagian besar beragama Islam.

Secara saintifik, getaran jiwa yang dipicu nada-nada yang menggerakkan kerap disebut frisson dari bahasa Prancis yang terjemahannya kurang lebih 'getaran estetika'. Frisson ini bukan hanya bisa datang dari musik. Ia juga bisa datang dari karya-karya seni dan sastra lainnya.

Sejauh ini, telah banyak penelitian soal mengapa manusia merasakan frisson saat mendengarkan musik tertentu. Seorang ahli neurosaintik dari Estonia, Jakk Panksepp, misalnya, menyimpulkan lewat penelitiannya bahwa manusia lebih mudah tergetar dengan musik-musik dengan alunan perlahan dan melisma yang cenderung menurun nadanya.

Pada akhirnya, rerupa konteks dan variabel membuat Shalawat Tarhim begitu istimewa. Keindahannya serta rasa dan nuansa yang ia pantik membuatnya mampu bertahan sekian lama mewarnai lanskap suara Tanah Air. Seiring waktu, lantunan seorang qari yang luar biasa berbakat asal Mesir tersebut malih menjadi kekhasan Islam di Indonesia. Jadi pengingat kampung halaman, jadi pemicu rindu yang mendalam terhadap Penghulu Para Nabi.

Baca berita sebelumnya:

Lantunan Syahdu Shalawat Tarhim, dari Kairo Hingga Solo

Menelusuri Jejak Shalawat Tarhim

Dari Yasmara, Shalawat Tarhim Melegenda

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement