REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khadijah merupakan sosok istri yang sempurna. Begitu menikah dengan Muhammad, ia semakin giat melanjutkan kebiasaan-kebiasaan baik, seperti bersedekah dan menyantuni anak-anak yatim. Di samping itu, kegiatan usaha dan bisnis Muhammad dan Khadijah semakin berkembang. Pasangan ini menjadi suami istri paling berbahagia, baik secara materiil maupun batin.
Namun, empati Muhammad semakin tumbuh dan peka. Ia melihat di sekelilingnya kebobrokan merajalela. Kaum miskin semakin terjerat praktik-praktik riba. Kalangan elite Makkah banyak yang bersikap sombong dan hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompok sendiri.
Mereka senang mabuk-mabukan, menyembah berhala yang tidak lain benda mati yang tidak mendatangkan manfaat maupun mudharat. Ketimpangan sosial begitu nyata.
Untuk menenangkan diri, Muhammad kerap pergi seorang diri ke Gua Hira. Di sana, ia merenungi problem masyarakat di sekitarnya. Dalam kondisi sunyi, pemikiran-pemikiran yang jernih dapat muncul. Sebagai istri, Khadijah mendukung penuh sikap suaminya itu. Khadijah selalu mempersiapkan bekal sebelum suaminya berangkat ke Gua Hira.
Sejarah mencatat, di sanalah Muhammad mendapatkan wahyu untuk kali pertama. Sejak saat itu, ia menjadi Rasulullah sekaligus penutup para nabi. Saat menerima risalah kenabian, Khadijah merupakan orang pertama yang beriman.
Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah berlari sekuat tenaga menuju ke rumah. Ia diliputi perasaan takut. Sesampainya di rumah, ia mengetuk pintu dan dengan terbata-bata berkata kepada istrinya, Khadijah.Selimuti aku! Selimuti aku! Tubuh Rasulullah tampak menggigil.
Lalu, Khadijah menyelimuti Muhammad. Akhirnya, suaminya itu dapat tertidur. Begitu terbangun keesokan harinya, rasa takut dalam diri Muhammad mulai menghilang. Kemudian, ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada Khadijah.