Ahad 04 Feb 2018 10:41 WIB

Persentuhan Mongol dengan Islam (1)

Di masa jayanya, Imperium Mongol mengendalikan sebagian besar Eurasia.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Muhammad Subarkah
Pemimpin Asia dan Eropa berpose untuk foto kelompok dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Eropa (ASEM) ke-11 di Ulaanbaatar, Mongolia, Sabtu, 16 Juli 2016.
Foto: AP Photo/Mark Schiefelbein
Pemimpin Asia dan Eropa berpose untuk foto kelompok dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Eropa (ASEM) ke-11 di Ulaanbaatar, Mongolia, Sabtu, 16 Juli 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Geliat peradaban Islam di Asia pada abad ke-13 dapat diibaratkan dengan burung Feniks (Phoenix) dari mitologi Yunani Kuno. Paruh pertama kurun tersebut, pusat-pusat keunggulan Islam, seperti Bukhara, Samarkand, atau Baghdad, luluh lantak sama sekali akibat ekspansi para penakluk asal Mongol, Genghis Khan dan keturunannya. Akan tetapi, dari abu reruntuhan itulah peradaban Islam bangkit kembali dan bahkan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Momentum itu terjadi setelah raja-raja Mongol mulai menerima dakwah agama ini.

Di masa jayanya, Imperium Mongol mengendalikan sebagian besar Eurasia. Batas-batasnya mencapai Eropa Timur hingga Semenanjung Korea, serta Siberia hingga Indocina. Sejarah tidak pernah menyaksikan kemaharajaan seperti itu sebelumnya. Kedigdayaan Mongol ditunjang banyak faktor, utamanya militer, teknologi bubuk mesiu, dan sistem pemerintahan yang efisien.

Beatrice Forbes Manz dalam artikelnya untuk The New Cambridge History of Islam (Jilid Ketiga, 2011), menjelaskan bagaimana Imperium Mongol mengubah wajah Islam untuk selamanya. Kisahnya bermula dari Genghis Khan (1162-1227). Sejak 1205, pemimpin yang lahir dengan nama Temujin ini dapat mempersatukan suku-suku nomaden yang menghuni dataran tinggi Mongol. Menjelang tahun 1216, ekspansi balatentaranya mulai bergerak ke arah barat, sekitar Jalur Sutra yang menghubungkan perniagaan Cina dengan Eropa.

Saat itu, seluruh Iran dan sebagian besar Asia Tengah dikuasai beberapa wangsa Muslim. Sejak 1194, Dinasti Khwarazmi menguasai wilayah tersebut setelah berhasil mengalahkan Dinasti Seljuk. Sebelum 1200, hubungan antara para pemimpin (shah) Khwarazmi dan penguasa Mongol dapat dikatakan cukup baik. Keadaan damai ini berakhir setelah Khwarazmi memiliki shah baru, Muhammad II.

Pada 1218, Genghis Khan mengirim sejumlah utusan ke suatu kota di wilayah Khwarazmi untuk menjalin hubungan dagang. Namun, gubernur setempat, sepertinya atas perintah Shah Muhammad II, mencurigai mereka sebagai mata-mata. Para delegasi tersebut lantas ditangkap dan dihukum mati. Meskipun murka, raja Mongol itu sempat mengirim utusan lainnya untuk mendesak Shah Muhammad II agar menyerahkan si gubernur kepadanya sehingga dapat dieksekusi. Duta ini juga dibunuh pemimpin Khwarazmi tersebut.

Tidak ada pilihan bagi Genghis Khan selain kekerasan. Dia mengepung wilayah Khwarazmi secara berangsur-angsur. Sejak 1219, sekitar 150 ribu balatentara Mongol mencaplok sejumlah kota penting, seperti Bukhara, Samarkand, dan Urgrench yang tidak lain ibu kota Khwarazmi. Di daerah-daerah taklukannya, mereka berlaku sangat kejam. Penduduk sipil yang tak bersenjata menjadi sasaran. Jutaan orang tewas. Shah Muhammad II meninggal dunia saat sedang kabur ke Khurasan (Iran) pada 1220. Jenderal militer Mongol kemudian mengalahkan anak shah tersebut, Jalaluddin Mingburnu, dalam pertempuran di dekat Sungai Indus pada 1221.

Inilah awal kejatuhan Persia Muslim ke tangan Mongol. Selang beberapa dekade berikutnya, wilayah-wilayah lain, utamanya Irak di bawah Dinasti Abbasiyah, menjadi sasaran.

Manz mengungkapkan satu kunci keberhasilan Mongol dalam merebut satu per satu wilayah musuh: meritokrasi. Berbeda dengan raja-raja di Asia pada zamannya, Genghis Khan tidak begitu menggubris faktor keturunan untuk menentukan siapa saja yang mengisi posisi penting di militer. Bahkan, beberapa jenderal Mongol adalah mantan lawannya yang kemudian berhasil dikondisikan untuk menjadi loyalis. Tentu saja, kebengisan pasukan Mongol juga ikut mendukung gelombang ekspansi Genghis Khan dan keturunannya ke arah barat.

Pada akhir 1222, Genghis Khan memindahkan pusat kekuasaan ke Transoxiana, daerah subur antara Sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya (kini sekitar Uzbekistan). Beberapa tahun kemudian, pada 18 Agustus 1227, sang penakluk itu menghembuskan nafas terakhir. Tidak ada informasi yang memadai tentang bagaimana dia mati atau di mana lokasi makamnya. Sebab, seluruh bawahannya menjadikan hal itu rahasia dengan taruhan nyawa mereka. Bagaimanapun, para sejarawan menduga makam Genghis Khan terletak di suatu tempat di Mongolia.

Sampai saat itu, Kekaisaran Mongol telah mencakup Mongolia, Cina utara, Siberia selatan, seluruh Asia Tengah, dan Hindustan. Wilayah seluas ini lalu terbagi menjadi empat khanateatau horde (harfiah: gerombolan), sesuai dengan jumlah anak laki-laki yang diperoleh mendiang dari istri resminya, Borte. Mereka adalah Jochi, Chaghadai, Ogedei, dan Tolui. Chaghadai dan Tolui masing-masing mendapat Asia Tengah dan Mongolia.

Sementara itu, yang terunggul di antara anak-anak Genghis Khan, Ogedei, melanjutkan ekspansi imperium ini secara signifikan. Tidak seperti ayahnya, Ogedei memakai gelar qaghanyang khas Turki. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh non-Mongol di lingkaran elite kekaisaran tersebut. Jochi wafat sebelum Genghis Khan tiada. Karena itu, hak-haknya kemudian diambil anak-anaknya yang menguasai wilayah utara (sekitar Siberia selatan). Kelak, seorang anak Jochi mengawali Islamisasi Mongol.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement