Rabu 13 Mar 2019 23:34 WIB

Kritik-Kritik KH As'ad Syamsul Arifin atas Praktik Tarekat

Meski kritis terhadap tarekat, Kiai As'ad tak melarang bertarekat

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
KH As'ad Syamsul Arifin
Foto: IST
KH As'ad Syamsul Arifin

REPUBLIKA.CO.ID, Seperti halnya pemikiran pendiri NU KH Hasyim Asy’ari,  KH R As’ad Syamsul Arifin, tokoh kharismatik dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur,  juga sangat kritis menyikapi kehadiran praktik tarekat, khususnya praktik tarekat yang tidak sepenuhnya mengacu pada syariat Islam. 

Namun, Kiai As’ad juga tidak identik dengan pemikiran Muslim modernis yang sepenuhnya melarang tradisi tarekat dan menudingnya sebagai bagian dari bidah. 

Baca Juga

Praktik tarekat yang tumbuh subur di Jawa harus tetap dipertahankan sebagai bagian dari tradisi Islam. Namun, upaya mempertahankan tarekat hanya dapat dilakukan dengan tidak melanggar syariat.  

Selain itu, Kiai As’ad juga mengkritik seseorang yang mengaku sebagai wali Allah. 

Menurut dia, seseorang yang senang disebut-sebut sebagai wali bukanlah seorang wali yang sebenarnya, karena orang tersebut hanya ingin terkenal saja.

Karena itu, dalam kitab Risalah As’adiyyah, Kiai As’ad menceritakan kisah tentang orang-orang merasa bangga terhadap kewakilannya.

Kritik tentang status wali ini juga pernah disampaikan KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul “al-Dharurat al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a Asyarah”.  

Menurut Kiai Hasyim, seseorang yang disebut wali tidak akan memamerkan diri, meskipun dipaksa membakar diri mereka.

Siapapun yang berkeinginan menjadi figur yang terkenal, dia tidak dapat dikatakan sebagai anggota kelompok sufi manapun. 

Di antara cobaan (fitnah) yang merusak seorang hamba pada umumnya ialah pengakuan guru tarekat dan pengakuan wali.  

“Barang siapa yang mengaku dirinya wali tapi tanpa kesaksian mengikuti Rasulullah, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT,” tulis Kiai Hasyim Asy’ari.  

Tentunya ada banyak kemiripan antara pemikiran Kiai Hasyim dan Kiai As’ad. Karena kedua ulama itu memiliki hubungan sebagai guru dan murid.

Di bawah asuhan Kiai Hasyim, Kiai As’ad menemukan karakter, wawasan, perspektif hingga semangat perjuangan untuk kemerdekaan.

Nasihat-nasihat Kiai As’ad dalam Kitab Risalah As’adiyah tidak hanya diperuntukkan kepada para santrinya, tapi kepada masyarat di sekitar pesantren yang kebetulan berbahasa Madura. 

Kiai As'ad berharap tulisannya ini tidak disalahpahami oleh santrinya dan umat Islam. 

Karena itu, Kiai As'ad meminta kepada para pembacanya untuk menggali lebih dalam lagi dari kitab-kitab klasik, seperti kitab Sullam at-Taufiq, Risalat al-Qusyairiyyah, Nata’ij al-Afkar, Futuhat al-Ilahiyah, Quut al-Qulub, dan lain sebagainya. 

Salah satu santri Kiai As’ad, Ustaz Muhyiddin Chotib mengatakan, kitab Risalah As’adiyah ditulis Kiai As’ad karena saat itu banyak masyarakat yang menyimpang dari syariat Islam ketika mengamalkan tarekat.

“Menurut saya Kiai As’ad ingin menjelaskan tentang apa sebenanrya tauhid dan tarekat itu. Karena saat itu ada tindakan yang menurut beliau agak gegebah dalam pengalaman tarekat itu,” ujar Ustadz Muhyiddin kepada Republika,co.id, beberapa waktu lalu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement