Selasa 24 Mar 2015 16:55 WIB

Pelajaran Berharga dari Keruntuhan Baghdad 1258 M

Madrasah Mustanshriyah Baghdad peninggalan Dinasti Abbasiyah
Foto: davidmus.dk
Madrasah Mustanshriyah Baghdad peninggalan Dinasti Abbasiyah

REPUBLIKA.CO.ID, Alf Lailah wa Lailah, sebuah epik yang diklaim karya Abu Abdullah bin Abd al-Jasyayari itu cukup menggambarkan tentang kemegahan dan kejayaan Kota Baghdad di bawah Pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dalam karya yang konon merupakan saduran dari cerita asal Persia yang bertajuk “Hazar Afsanah” (Seribu Legenda) itu, mengambil latarbelakang Baghdad yang menawan dan eksotis.

 

Ada figur-figur yang dihormati dalam karya sastra itu, antara lain Harun al-Rasyid dan penyair tersohor Abu Nawas. Baghdad selama masa keemasannya pada abad ke 7 hingga 12 M adalah simbol kegemilangan peradaban. Infrastruktur berdiri megah, ilmu pengetahuan berdiri tegak, dan terjadi interaksi yang kuat lintas peradaban. Baghad Madinat as-Salam, Kota Kedamaian.

Tetapi kejayaan Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah selama hampir lima abad tersebut, hangus dalam waktu kurang lebih sebulan. Peristiwa tersebut sekaligus mengakhiri pemerintahan multinasional Islam selama beberapa dekade. Keruntuhan Baghdad menyisakan catatan kelam sepanjang sejarah Islam.

Pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan membumihanguskan kota yang juga dikenal dengan sebutan Kota Bulat ini. Langit Baghdad menjelma pekat. Aroma Sungai Tigris anyir dan airnya yang jenir memerah dialiri darah manusia dan memekat akibat darah dan tinta ribuan buku yang ditenggelamkan.  

Mongol nyaris tak  menyisakan korban selamat. Mereka yang berhasil sembunyi di tumpukan mayat atau di irigasi-irigasi yang berada di Baghdad, termasuk juga mencari keselamatan di sumur-sumur, harus berhadapan dengan wabah kolera. Tak banyak yang bertahan.

Lantas bagaimana dengan Khalifah al-Mu’tashim? Perlakuan Mongol terhadap penguasa terakhir Dinasti Abbasiyah itu juga tak kalah kejam. Ia dipisahkan dari keluarganya.

Anak-anaknya diasingkan ke Samarkand tanpa meninggalkan jejak apapun bagi dunia Islam. Al-Mu’tashim merana. Hulugu Khan menawannya tanpa makanan. Bahkan Sang Khalifah dipaksa untuk memakan pundi-pundi emas yang selama ini ia timbun.

“Bagaimana mungkin aku memakan emas?,” kata al-Mu’tashim.

“Jika engkau sadar tak bisa memakan emas, mengapa engkau menimbun dan tidak membagikannya ke bala tentara mu agar mereka mempertahankan singgasanamu dari serangan tentaraku?,” jawab Hulagu.

“Semua itu adalah takdir Allah SWT,” kilah Sang Khalifah.

“Dengan begitu apa yang menimpa dirimu juga takdir-Nya,” ketus Hulagu.

Selama kurang dari sepekan, Sang Khalifah ditahan tanpa makanan dan minuman hingga akhirnya meninggal dunia. Jasadnya dibungkus dengan karpet dan diikat lalu dibiarkan terinjak-injak oleh kuda-kuda Mongol. Al-Mu’tashim meninggal bukan akibat tebasan pedang. Mongol memang menginginkan demikian. Dalam tradisi dan kepercayaan mereka, darah penguasa tidak boleh tersentuh dengan tanah.

Tragedi Baghdad menyisakan kisah pilu bagi dunia Islam. Ujian yang teramat berat. Kesedihan dan duka mendalam dirasakan oleh Muslim di berbagai wilayah saat itu. Luka dan lara di relung hati yang paling dalam tergoreskan lewat susunan kata dan frase. Tak sedikit sastrawan yang meluapkan

kesedihan menggunakan cara mereka, berpuisi dan berprosa.  

Lewat gubahan syairnya yang terkumpul dalam kasidah yang bertajuk “Fi Ratsai Baghdad”, Syamsuddin al-Kufi (1226-1276 M) meluapkan betapa ia sangat terpukul dengan peristiwa tragis tersebut. Dalam kepiluannya, al-Kufi menulis:

Rumah..rumah..di mana mereka tinggal

Kemana keagungan dan kebeseran itu

Wahai rumah kemana kemuliaanmu

Dan panjimu yang terhormat dan agung itu

Wahai orang yang telah pergi dalam hati dan rusukku

Terdapat ahaya yang tak akan pernah pada karena kepergian kalian//

Meski al-Kufi teramat larut dalam kesedihan, tetapi ia harus berbuat sesuatu. Jasanya yang tercatat sejarah, ia membeli anak-anak yang ditawan oleh Mongol dan merawat mereka.  

Keruntuhan kejayaan Islam di Baghdad memang tinggal sejarah. Tetapi, sejarah adalah cermin bagi generasi mendatang. Pelajaran yang berharga tentunya adalah bagaimana umat Islam tetap waspada terhadap konspirasi musuh, yang terkadang kasat mata, tetapi kadang pula senyap.

Agama kita mengajarkan untuk menguasai dunia, bukan ‘mempertuhankannya’. Berbangga dengan kejayaan masa lalu dan melupakan masa depan, bukan ajaran agama. Islam adalah agama masa lalu, sekarang, dan esok. Faidza faraghta fanshab, tak ada kata lengah dan jaga konsistensi selalu.

Sebab kata Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”nya konsistensi merupakan kunci eksistensi sebuah peradaban. Jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban,  mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsisten dan komitmen memegang nilai dan moralitas.  

 

          

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement