Selasa 11 Feb 2014 16:01 WIB

Islam Cheng Ho (2)

Sejumlah pengunjung menyaksikan atraksi liong dan barongsai pada kirab perayaan kedatangan Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Tay Djien) ke-606, di Kelenteng Sam Poo Kong Semarang, Jawa Tengah.
Foto: Antara/R Rekotomo
Sejumlah pengunjung menyaksikan atraksi liong dan barongsai pada kirab perayaan kedatangan Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Tay Djien) ke-606, di Kelenteng Sam Poo Kong Semarang, Jawa Tengah.

Oleh: Afriza Hanifa

Amen Budiman dalam bukunya Semarang Riwayatmu Dulu menyatakan, dalam sejarah Ming diceritakan Cheng Ho merupakan laki-laki dari daerah Yunan dan orang sida-sida.

Dalam menghormati kedatangan Sam Po Tao Lan, warga Cina Semarang mendirikan sebuah kelenteng bernama Sam Poo Kong.

“Penduduk Kota Semarang berpendapat bahwa dikirimnya utusan Sam Poo Tay Djien merupakan peristiwa kebangsaan. Maka, untuk menghormatinya, didirikan kelenteng ini (Sam Poo Kong),” ujar Amen. Masyarakat Cina pun serta-merta bersembahyang di kelenteng tersebut.

Namun, sebenarnya pemujaan yang dilakukan itu agak membingungkan. Sebab, telah tercatat dalam sejarah bahwa Cheng Ho merupakan seorang Cina beragama Islam. Cheng Ho dilahirkan sebagai seorang Islam dan dibesarkan dalam keluarga Islam.

Sebagaimana dikatakan Amen, nama asli Cheng Ho ialah Ma Hou. Marga Ma merupakan sebuah nama keluarga khusus di antara orang-orang Islam yang mirip dengan suku kata pertama dari nama Muhammad. Ayah dan kakek Cheng Ho disebutkan sebagai orang Ha-Tche. Istilah Ha-Tche merupakan salinan kata “haji”.

“Jelas sekali, baik ayah maupun kakek Cheng Ho adalah orang Islam dan telah menunaikan rukun Islam kelima,” kata Amen dalam bukunya. Bahkan, lebih jauh dimungkinkan Cheng Ho merupakan keturunan Mongol dan Arab.

Hal tersebut didapat dari keterangan moyang laki-laki Cheng Ho yang merupakan seorang Pai-Yen, sebuah nama asli Mongol. Pai-yen merupakan salinan dari Bayan. Sedangkan, Bayan disebut-sebut sebagai keturunan orang Mongol dan Arab.

Meski demikian, warga Cina tetap memuja dan menyembahyanginya. Bahkan, di dalam goa yang diyakini warga Cina Semarang, pernah menjadi tempat persinggahan Cheng Ho, dibuat sebuah patung kecil Cheng Ho dan dilengkapi dupa-dupa peralatan sembahyang.

Dalam perkembangannya, yakni pada masa penjajahan Belanda, sekitar pertengahan 1800 Masehi, kawasan Simongan dikuasai oleh seorang keturunan Yahudi. Hal tersebut membuat warga Cina kesulitan menggelar ritual di Kelenteng Sam Poo Kong karena harus membayar pajak yang sangat mahal kepada sang penguasa.

Kejadian tersebut sempat membuat warga Cina membangun kelenteng baru, Tay Kak Sie, di tepi Sungai Semarang. Kelenteng tersebut masih berdiri hingga kini di Gang Lombok Pecinan Semarang.

Meski demikian, Kelenteng Sam Poo Kong tak dapat tergantikan. Warga Tionghoa sering kali menggelar upacara di Kelenteng Gedung Batu tersebut sebagai ungkapan syukur atas rasa aman dan kesuksesan dalam perdagangan.

Setelah Simongan di tangan Yahudi, upacara tak dapat digelar. Maka, seorang pedagang Cina pun kemudian bertekad, jika usahanya sukses maka tanah Simongan akan dia beli dari si Yahudi.

Nyatanya, sang pedagang yang bernama Oei Tjie Sien tersebut sukses dan dapat membeli tanah Simongan. Kelenteng Sam Poo Kong pun kemudian dibuka bebas dan gratis kembali. Tak hanya itu, Oei Tjie Sien juga merenovasi kelenteng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement