Sabtu 22 Dec 2018 05:01 WIB

Jejak Turki Utsmani Pada Kraton dan Budaya Jawa

Hubungan Turki Utsmani dengan Kraton Jawa Ternyata sangat erat.

Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengarak gunungan sebelum diperebutkan dalam perayaan Grebeg Maulud di Masjid Agung Solo, Jawa Tengah, Jumat (1/12). Dalam puncak perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut pihak keraton setempat menghadirkan sebanyak dua pasang Gunungan laki-laki dan perempuan untuk diperebutkan
Foto: Maulana Surya/Antara
Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengarak gunungan sebelum diperebutkan dalam perayaan Grebeg Maulud di Masjid Agung Solo, Jawa Tengah, Jumat (1/12). Dalam puncak perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut pihak keraton setempat menghadirkan sebanyak dua pasang Gunungan laki-laki dan perempuan untuk diperebutkan

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Tak bisa dipungkiri pengaruh Turki Ustmani sangat besar dalam kazanah sejarah Islam di Jawa. Jejak ini terlacak dan tampak sangat jelas pada sosok ekspresi budaya yang ada di Keraton Mataram baik yang kini ada Yogyakarta maupun Surakarta.

Jejak tersebut dilihat dalam kajian pakar falsafah kebudayaan Islam, Prof DR Abdul Hadi WM. Menurutnya, ekspresi ini juga menjadi penanda cara penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Salah satunya adalah ada pada prosesi peringatan Garebeg Maulud (upara peringatan Maulid Nabi) yang jatuh pada 12 Rabiul Awal.

"Gerebeg Maulud itu salah satu alat yang digunakan oleh para wali yang berdakwah mensiarkan agama Islam pasca bubarnya kerajaan Majapahit. Kecuali Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, semua para wali yang dikenal dengan wali songo untuk mensiarkan agama Islam itu sebenarnya para ulama' yang datang dari Turki dan ditugaskan oleh Sultan Turki Utsmani untuk mengislamkan masyarakat di Jawa,'' kata Abdul Hadi, di Jakarta, Jum'at malam (21/12).

Menurut kajian Abdul Hadi, Gerebeg Maulid yang dikenal dengan sekatenan merupakan peringatan Maulid Nabi yang sudah ada jauh sebelum kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung berdiri di Ngayogyakarta Hadiningrat.

"Grebeg Maulud, perayaan Maulid di Yogya dan Solo. Lihat kopiah dari para pembawa gunungan dan warna bajunya yang merah. Kopiah itu disebut tarbus Turki dan merah adalah warna bendera Turki. Tetapi masyarakat kita lupa sejarah bahwa pengaruh Turki cukup mendalam kepada kehidupan atau budaya kaum Muslimin di Indonesia.'' tegas Abdul Hadi sembari memperlihatkan gambar prosesi gunungan Maulid yang dibawa para 'abdi dalem' Kraton. (lihat foto di bawah ini)

photo
Suasana Grebeg Maulud. Lihat kopiah tarbus dan baju warna merah ala Turki yang dipakai para abdi dalem kraton.

Selain itu, pada sisi sejarah lain, jejak pengaruh Imperium Turki Utsmani ada pada perang Diponegoro yang terjadii pada 1825-1830 M. Saat ini gelar dan pangkat para pasukannya memakai sistem yang dipakai tentara Turki Ustmani. Ini misalnya ada pada pangkat yang disandang sang panglima perang yang masih sangat muda, yakni Sentot Ali Basyah. Sentot itu berasal dari kata bahasa Jawa. Ali itu nama berasal dari bahasa Arab, yakni nama sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan Basyah adalah nama dari bahasa Turki, yakni Pashya.

Dan Sultan Hamengku Buwono X pun secara terbuka telah lama mengakui adanya pengaruh dan jejak kekuasaan Otoman Turki. Dalam pembukaan Munas MUI beberapa tahun silam, Sultan mengatakan jejak itu ada pada bendera yang di Keraton Demak dan kemudian Mataram, yakni pada pusaka Tunggul Wulung. Dan benda ini sebetulnya adalah lembaran kain kiswah Ka'bah. Dan ini dahulu di bawa dari Makkah yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Turki Utsmani.

Sultan saat itu mengatakan: Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.

"Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa,'' kata Sultan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement