Jumat 14 Dec 2018 09:05 WIB

Manjaniq, Dipromosikan Salman al-Farisi Tapi Picu Polemik

Islam mengenalkan nilai-nilai kemanusian sebelum Barat.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nashih Nashrullah
Ketapel (manjaniq)
Foto: dok istimewa
Ketapel (manjaniq)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Islam juga mengatur tentang penggunaan senjata dalam perang. Hukum Islam sudah menegaskan tidak boleh menyerang warga sipil yang sudah ditentukan kategorinya. Maka senjata-senjata yang dipergunakan juga harus diatur agar sebisa mungkin tidak melukai warga sipil yang tidak terlibat dalam perang. 

Secara eksklusif, kepada Harian Republika, beberapa waktu lalu ahli hukum Islam dari International Committee of the Red Cross Ahmed Al-Dawoody mengatakan, senjata-senjata dalam perang juga diperdebatkan oleh para ahli hukum Islam terdahulu bahkan sejak zaman Nabi Muhammad. 

Al-Dawoody mengatakan para ahli hukum Islam klasik membahas ada dua senjata yang tidak diperbolehkan karena dampaknya dapat melukai dan membunuh warga sipil. Senjata yang tidak perbolehkan yang pertama disebut al-Manjaniq atau ketapel tempur. Benda yang sistem mekaniknya seperti ketapel. Bahan dasarnya kayu yang jika diberi pemberat maka akan melempar benda apa pun yang berada ditangkainya. Benda ini dapat melemparkan atau melontarkan proyektil sampai jarak yang jauh tanpa bantuan bahan peledak. 

Zaman dahulu senjata ini sangat kuat karena dapat melemparkan tong yang berisi api. "Maka senjata ini tidak diketahui apakah akan mengarah ke warga sipil atau musuh," kata Al-Dawoody. 

Al-Dawoody mengatakan, senjata ini diperkenalkan Salman Al-Farisi. Tapi senjata ini dikhawatirkan dapat membahaya nyawa warga sipil. Namun terkadang terpaksa harus digunakan ketika bertempur melawan musuh yang berada di balik benteng.

Dia menjelaskan, senjata yang juga dilarang anak panah yang beracun atau dibakar api. Karena jika mengenai satu orang musuh maka senjata itu efektif. Tapi jika mengenai sasaran dan jatuh ke dalam air dan airnya di minum banyak orang maka akan menjadi pembunuhan massal. 

Tidak diketahui apakah sungai atau genangan air tersebut hanya diminum musuh atau warga sipil. "Anak panah yang dibakar dengan api juga dapat menciptakan kebakaran yang masif," kata Al-Dawoody. 

Al-Dawoody mengatakan Islam sudah mengatur nilai-nilai kemanusiaan dalam seratus tahun sebelum Barat melakukannya. Nilai-nilai ini menjadi doktrin dalam perang. Tapi tetap harus dipahami sumber-sumber dari hukum Islam klasik berasal dari zaman dahulu. 

Di mana senjata-senjata masih primitif yang hanya berupa pedang dan panah. Belum seperti sekarang dimana senjata yang memiliki daya rusak begitu besar dan bahkan dapat menjadi alat pemusnah massal. 

"Tapi nilai-nilainya, prinsip-prinsipnya tetap eksis di situasi apa pun," tambah Al-Dawoody. 

Karena nilai-nilai tersebut dapat dikaitkan dengan perang-perang masa kini. Nilai-nilainya dapat dianalogikan dan dibandingkan dengan situasi sekarang.

Menurut Al-Dawoody nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam tidak berbeda dengan nilai-nilai kemanusiaan saat ini. Memang, katanya, bahasanya berbeda, terminologi yang digunakan juga berbeda dan nada yang dipakai pun berbeda. Tapi pada intinya memiliki tujuan yang sama yaitu menjunjung tinggi kemanusian. 

Al-Dawoody sangat yakin konvensi-konvensi hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusian hari ini tidak adanya bertentangan dengan hukum Islam. "Jika Anda mempelajari Konvensi Jenewa saya tantang siapa pun untuk mencari sesuatu yang berkontradiksi dengan hukum Islam," katanya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement