Senin 18 Sep 2017 10:43 WIB
Seriak Kekerasan September

Pesantren Takeran Saksi Bisu Pemberontakan PKI 18 September 1948

Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur.
Massa PKI ditangkap di Madiun 1948.

Terkait peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, peminat sejarah Batara Hutagalung mengatakan, tampak ada kaitan antara peristiwa pemberontakan itu dengan aksi penyerangan Belanda ke Yogyakarta pada Desember 1948. Hal ini masuk akal karena salah satu pemimpin pemberontakan, Amir Syarifudin, pada zaman Jepang sempat menjalin kerja sama untuk gerakan perlawanan bawah tanah semasa penjahan Jepang.

''Bila melihat fakta lain, saya pun melihat pemberontakan PKI Madiun merupakan sebuah bagian dari persiapan Belanda ketika hendak melakukan serangan militer besar-besaran ke Indonesia pada Desember 1948. TB Simatupang menyebut indikasi ini setelah melihat kepulangan Muso ke Indonesia dari Moskow yang melalui Belanda pada Agustus 1948. Jadi, di situlah kemungkinan Muso ditunggangi kepentingan Belanda,'' kata Batara.

Kemudian apakah masih banyak yang pihak sudi mendengarkan kisah pembantaian PKI Madiun di tahun 1948 itu? Atau jangan-jangan malah dianggap sebagai dongeng yang senyap karena sudah dianggap dongeng oleh mereka yang kerap mengklaim diri sebagai pejuang HAM.

Zakaria lebih lanjut mengatakan, sejarah telah mencatat perilaku masa PKI yang menculik satu demi sartu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah "Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati". Menurutnya, aksi gayang PKI seperti itu memang berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan. Salah satu pesantren incaran PKI adalah Takeran. Pesantren ini secara geografis sangat dekat dengan Gorang Gareng sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren Takeran adalah rangkaian pembantaian PKI yang terjadi di Gorang Gareng.

Pesantren Takeran atau dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien dipimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun. Pesantren Takeran merupakan salah satu pesantren yang paling berwibawa di Magetan kerena pemimpinnya mempunyai pengaruh yang sangat besar—Kiai Imam Mursjid juga bertindak sebagai imam tarekat Syatariyah. Pesantren ini didirikan oleh seorang panglima perang dan tokoh ulama dari Kesultanan Yogyakarta. Dia menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Keluarga tokoh dan koglomerat media Dahlan Iskan adalah pengasuhnya. (Lihat tayangan film 'Kisah Sepatu Dahlan')

Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren itu terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan, yaitu di dalam pesantren Takeran mamang aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri.

Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegalrejo pergi ke Burikan. Setelah kepergian mereka seusai shalat Jumat, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Saat itu Kiai Imam Mursjid diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Kepergian pemimpin pesantren mereka menimbulkan tanda tanya besar. Dua hari kemudian keberadaan iai Imam Mursjid belum diketahui secara pasti.

PKI terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada ustaz-ustaz yang lain, seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Mereka tidak pernah kembali, bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Yang menimbulkan keheranan adalah, sampai sekarang tempat pembantaian Kiai Mursjid belum diketahui karena mayatnya belum ditemukan. Bahkan, dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Mursjid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement