Rabu 10 Aug 2016 09:10 WIB

Toleransi Rasulullah kepada Pemburu yang Tinggalkan Shalat Berjamaah

Rasulullah
Foto: wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, "Semua Nabi yang terdahulu, sebelum aku, menyibukkan diri mereka dengan berburu dan bepergian (di gurun pasir dan hutan-hutan) karena hanya dengan jalan ini mereka dapat memperoleh penghidupan. Mengenai shalat berjamaah, cukuplah bagi kamu, jika kamu mencintai jamaah, mencintai orang-orang yang shalat berjamaah, mencintai Asma' Allah, mencintai orang-orang yang memuji Allah, dan berkeinginan untuk memperoleh nafkah yang halal untuk keluarga. Semua hal itu cukup untuk menggantikan ketidakhadiranmu dari berjamaah. Hendaklah kamu berusaha untuk memperoleh nafkah yang halal bagi keluargamu, sebab itu sama dengan berjuang di jalan Allah" (HR Thabrani).

 

Rasulullah SAW mengungkapkan hadis ini tatkala ada seorang sahabat yang datang menemuinya. Sahabat tersebut sehari-harinya bekerja sebagai pemburu dan hidup di gurun pasir, hingga jauh dari keramaian.

Karena itu, ia mengaku sering ketinggalan shalat Jumat berjamaah. Ia merasa khawatir dengan kondisi tersebut, karena Rasulullah SAW pernah mengungkapkan keinginannya "membakar" rumah orang-orang yang mengabaikan shalat Jumat berjamaah. Rasul pun pernah menolak keinginan Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta, untuk tidak berjamaah shalat. Alasannya ia masih bisa mendengarkan suara adzan.

Walau Rasul sangat menekankan keutamaan shalat berjamaah, tapi tatkala mendengar alasan sahabat ini, Rasulullah SAW memberikan keringanan kepadanya untuk tidak ikut shalat berjamaah, tentunya dengan beberapa syarat.

Ada beberapa poin menarik yang dapat kita ambil dari hadis ini. Pertama, kebijaksanaan Rasulullah SAW dalam memutuskan suatu masalah. Rasululullah telah menempuh jalan terbaik di antara tindakan-tindakan yang melampaui batas. Rasul pun mampu memberikan solusi yang seimbang dan adil bagi sahabat tersebut.

Kedua, keutamaan shalat berjamaah. Dalam hadis ini, secara tersirat, terungkap betapa pentingnya shalat berjamaah. Karena keutamaan tersebut, Rasulullah SAW berpesan bagi yang berhalangan agar tetap meniatkan diri untuk berjamaah. Walau fisiknya tidak hadir, tapi hatinya harus tetap hadir.

Nabi mengungkapkan, "mengenai shalat berjamaah, cukuplah bagi kamu, jika kamu mencintai jamaah, mencintai orang-orang yang shalat berjamaah, mencintai Asma' Allah, mencintai orang-orang yang memuji Allah, dan berkeinginan untuk memperoleh nafkah yang halal untuk keluarga. Semua hal itu cukup untuk menggantikan ketidakhadiranmu dari berjamaah".

Ketiga, keharusan untuk mencari nafkah dengan cara halal. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya mencari nafkah yang halal, sampai-sampai ia menggolongkan sebagai jihad.

Rasul bersabda, tatkala mengomentari seseorang yang sedang bekerja keras: "Kalau dia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah" (Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani).

Dalam hadis lain disebutkan pula bahwa ada dosa-dosa tertentu yang hanya dapat ditebus dengan bekerja.

Fakta ini mengindikasikan bahwa Islam tidak memisah-misahkan antara urusan ritual dan urusan-urusan duniawi. Bahkan, kurang sempurna keimanan seseorang tatkala ia hanya mengurusi masalah ritual saja dengan meninggalkan urusan dunianya, termasuk dalam masalah ekonomi. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Usaha memperoleh penghasilan halal guna memenuhi kebutuhan hidup, adalah kewajiban kedua setelah kewajiban shalat". Wallahu a'lam bish-shawab.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement