Kamis 31 Oct 2013 20:11 WIB

Agama Bukan Faktor Pemicu Radikalisme

Rep: djoko suceno/ Red: Damanhuri Zuhri
Terorisme dan AS/ilustrasi
Foto: menwithfoilhats.com
Terorisme dan AS/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG –– Agama seringkali digunakan sebagai tameng oleh kelompok gerakan radikal dan terorisme.

Padahal, agama bukan faktor utama yang memicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme. Sebab agama menjadi sumber kebaikan dan kedamaian.

“Karena itu ketika agama berlawanan dengan karakter dasar agama itu, berarti agama telah terkontaminasi oleh kepentingan lain di luar agama seperti kepentingan ekonomi dan politik,’’ jelas Dr Nurrohman MA, dalam acara International Conference on Islam in Malay World (ICON) di Bandung, Rabu (30/10).

Menurut Nurrohman, radikalisme dan terorisme, terlepas dari simbol agama apapun yang mereka gunakan, pada dasarnya merupakan musuh bersama umat beragama.

Ia mengatakan teror itu sendiri tidak ada hubungannya dengan agama. Terorisme yang sudah dianggap sebagai kejahatan internasional, menurutnya tidak bisa ditolerir semata-mata dengan alasan jihad atau simbol agama lainnya.

‘’Terorisme tidak memiliki akar dalam agama dan semua aksi teror pada dasarnya bukan tindakan keagamaan. Islam sangat keras dalam mengecam terorisme dan ini ada dalam Alquran,’’ ungkapnya dalam acara tahunan yang kini UIN Sunan Gunung Djati sebagai tuan rumah.

Agar agama tidak dibajak atau disalahgunakan oleh kelompok radikal, kata Nurrohman, umat beragama harus memegang teguh etika dalam berdialog dan hidup berdampingan.

Ia mengatakan terorisme atau tindakan radikal apa pun yang dilakukan mengatasnamakan agama pada hakekatnya menghancurkan agama itu sendiri. “Pegang teguh etika yang diajarkan oleh agama,’’ paparnya.

Menurut dia, ada beberapa landasan etik untuk hidup berdampingan secara damai dengan kelompok yang beda agama maupun budaya.

Perbedaan, hendaknya disikapi dengan ihklas karena bagian dari rencana Tuhan dalam rangka menguji dan mendorong umat manusia berlomba dalam kebaikan. Selain itu, kata dia, umat manusia hendaknya menghindari pemaksaan agama dan keyakinan.

“Umat beragama hendaknya tidak mengejek atau menghina sistem keyakinan yang dianut oleh agama lain,’’ kata Nurrohman mengingatkan.

Umat Islam menurutnya hendaknya bisa melihat semua umat manusia tanpa membedakan warga kulit, agama, jenis kelamin, ras, etnis maupun afiliasi partai politiknya.

Secara sosiologis menurutnya keterlibatan Muslim sebagai teroris bisa melalui berbagai tahapan pergaulan sosial. Tahap pertama, sejumlah individu memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement