Selasa 07 Feb 2012 19:24 WIB

Mualaf Ahmad Thomson: Pengacara dan Penulis Buku Produktif (2-habis)

Ahmad Thomson
Foto: mitrasites.com
Ahmad Thomson

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 2002, Thomson membuat pernyataan lisan dan tertulis kepada majelis pemimpin Komite Pelanggaran Agama. Ia menegaskan bahwa kelompok-kelompok agama seperti Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, dan Sikh harus memperoleh hak dan perlindungan yang sama di bawah hukum Inggris.

Di antara aktivitas yang dijalaninya kini adalah memberikan ceramah rutin tentang Islam di berbagai wilayah Inggris. Ia juga menulis secara teratur untuk Al-Karam Journal dan menjadi salah seorang kontributor tetap dalam konferensi lintas agama yang digelar setiap tahun di Masjid Regents Park dan Pusat Kebudayaan Islam Inggris.

Empat tahun pertama keislamannya, Thomson mengaku tak memahami apa pun tentang Islam. "Yang kutahu, komunitas Muslim di mana aku bergabung lebih berpengetahuan, menonjol, dan memiliki perangai yang lebih baik dari umat lain yang pernah kutemui hingga masa itu."

Ia berpendapat, cara terbaik menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW adalah dengan mempelajari ajaran Islam yang ada sebelum kemunculan berbagai mazhab. Ia berpendapat, dalam berbagai agama, terdapat orang-orang arif dan juga orang-orang bodoh yang menggunakan Islam untuk kegunaan politis. "Mereka membolak-balikkan Islam secara sadar ataupun tidak," katanya.

Ketika umat Muslim menjadikan Rasulullah SAW (selain Alquran) sebagai referensi akhir berbagai ajaran agama, tambahnya, hal itu tidak akan memunculkan argumen. "Yang ada hanya pengetahuan. Seperti bunyi pepatah, semakin kita dekat dengan sumber mata air, semakin murni air yang kita minum."

Selain itu, Thomson adalah satu dari miliaran Muslim yang tidak membenarkan terorisme. Ia berpendapat, "Islam radikal" adalah sebuah istilah yang mengandung kontradiksi. "Tidak mungkin seseorang menjadi Muslim seutuhnya dan dalam waktu yang sama menjadi seorang teroris yang bengis,” tegasnya.

Selain itu, pria yang menjadi sekretaris Pengacara Muslim Eropa ini memegang sebuah konsep tegas tentang Islam yang sesungguhnya. "Islam bukan semata persoalan kata-kata," ujarnya, seperti dikutip gatewaytodivinemercy.com.

Mengutip perkataan Rasulullah, ia mengatakan syahadat adalah sebuah ikrar yang mudah diucapkan, namun banyak yang berlalu begitu saja. "Sejak aku mengucapkan syahadat, aku menjalani setiap momen hidupku untuk menemukan berbagai kewajiban dan konsekuensi yang mengikuti kesaksian itu. Pencarian ini adalah proses yang tidak memiliki akhir."

Semenjak berislam, Thomson telah menulis sejumlah buku, diantaranya The Difficult Journey and The Way Back (1994); The Next World Order (1994); dan edisi revisi Jesus, Prophet of Islam and Blood on the Cross (disusun dalam dua jilid yakni “For Christ's Sake” dan “Islam in Andalus”, ditulis bersama Muhammad Ata’ur Rahim pada 1996).

Beberapa judul lainnya adalah Dajjal: the AntiChrist (1997); Making History (1997); The Last Prophet (2000), dan Golden Days on the Open Road (2005). Bersama Abdalhaqq dan Aisha Bewley, ia juga menulis buku The Islamic Will (1995).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement