Senin 22 Apr 2019 20:40 WIB

Difabel Butuh Fasilitas Khusus di Tempat-Tempat Ibadah

Penyediaan fasilitas difabel harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Penyandang tunanetra membaca Alquran saat mengikuti Tadarus Nasional Quran Braille di Masjid Al Ukhuwah, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (2/6).
Foto: Antara/Novrian Arbi
Penyandang tunanetra membaca Alquran saat mengikuti Tadarus Nasional Quran Braille di Masjid Al Ukhuwah, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (2/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sarmidi Husna mengatakan, pemerintah dan masyarakat juga memiliki kewajiban untuk memberikan akses kepada kalangan difabel, sehingga mereka bisa melaksanakan ibadah. Karena, difabel juga memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah, seperti shalat, puasa, dan membayar zakat.

"Misalnya, memberikan fasilitas akses kursi roda di masjid hukumnya bisa wajib," jelas nya.

Baca Juga

Lebih lanjut, Kiai Sarmidi menjelaskan bahwa Fikih Disabilitas sangat penting untuk dikaji lebih lanjut oleh para ulama. Karena, membahas masalah-masalah hukum yang bisa dijadikan panduan bagi kalangan difabel.

"Ini kajian keagamaan, tentu kalau di dalam masalah keagamaan itu seperti fatwa yang menjadi guidance untuk melaksanakan aksi-aksi lanjutan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas," ucapnya.

Menurut dia, buku Fikih Disabilitas yang diluncurkan PBNU juga membahas secara umum bagaimana Islam memandang para difabel. "Jadi, ini adalah fatwanya, konsepsinya bagai mana Islam menganggap kelompok disabilitas perlu difasilitasi," imbuhnya.

Di dalam masalah hukum, para ulama penggagas Fikih Disabilitas membagi empat hal. Yaitu masalah ubudiyah, muamalat, munakahat (pernikahan), dan juga masalah sosial politik.

Permasalahan tersebut dibahas oleh para ulama agar difabel mendapat sentuhan keagamaan. Karena, selama ini, difabel banyak yang merasa kurang diperhatikan secara keagamaan.

"Kelompok mereka itu merasa tidak diperhatikan secara keagamaan. Ubudiyahnya, misalnya. Selama ini, pemerintah hanya sebatas mencetak Alquran huruf Braille," katanya.

Menurut dia, pelatihan membaca huruf Braille juga masih belum maksimal dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, kata dia, pelatihan membaca Alquran dengan menggunakan bahasa isyarat tidak tertangani oleh pemerintah sampai sekarang.

"Itu baru Alquran saja, belum misalnya tata cara ibadah, belum kajian fikih, hadis, itu kanbelum tersentuh sama sekali. Mereka yang tunanetra kanrata- rata mendengar. Tapi, huruf Braille yang berupa hadis itu tak ada," jelas Kiai Sarmidi.

Karena itu, menurut dia, para ulama kini berupaya untuk mengajarkan ilmu agama kepada para difabel. Di antaranya, dengan menerbitkan buku Fikih Disabilitas. Buku ini menjadi pe gangan bagaimana ke depannya kita melakukan advokasi terkait penguatan hak difabel.

Gagasan Fikih Disabilitastersebut lahir melalui kajian-kajian yang dilakukan ulama NU dalam forum Bahtsul Masail. Pembahasan masalah ke aga maan terkait difabel dilakukan sejak PBNU menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama di Lombok pada 2017.

"Di Lombok itu sudah ada keputusan secara umum untuk memenuhi hak disabilitas, di antaranya bahwa orang difabel juga ahliyatul ada', yaitu orang yang masih punya kewajiban untuk menunaikan kewajiban ibadah,"paparnya.

Untuk melakukan ibadah itu, difabel membutuhkan fasilitas khusus di tempat-tempat ibadah, seperti kursi roda dan lain sebagainya. Penyediaan fasilitas itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

"Kalau masyarakat tidak bisa, ya negara memiliki tanggung jabwa besar untuk memberikan hak-hak disablitas itu,"katanya. Kiai Sarmidi menambahkan, PBNU mengeluarkan gagasan fikih ini karena adanya permintaan dari difabel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement