Senin 15 Apr 2019 17:31 WIB

Siapa Pun Presiden Terpilih Diimbau Gelar Dialog Bersama

Romo Magnis minta siapapun presiden terpilih ciptakan suasana saling maaf-memaafkan.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Hasanul Rizqa
Romo Franz Magnis Suseno
Foto: bnpt
Romo Franz Magnis Suseno

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum (pemilu) dalam beberapa hari ke depan akan digelar. Untuk itu, setiap elemen bangsa diminta dapat menjaga situasi tenteram, aman, dan toleran. Menurut pakar filsafat Prof Franz Magnis Suseno, ada banyak tugas menanti presiden RI 2019-2024, siapapun nama yang muncul sebagai pemenang pemilu tahun ini.

Salah satunya, sosok terpilih itu mesti meredakan suasana sebelum dan selama pemilu yang cukup "panas." Menurut dia, perlu adanya diskusi atau semacam rembuk, duduk bersama, di antara dua kubu pendukung pasangan kandidat. Hal itu dilakukan untuk bersama mengevaluasi proses pemilu.

Baca Juga

“Presiden terpilih perlu menciptakan suasana di mana kita semua, baik pendukung 'satu' atau 'dua', mau duduk bersama sambil minum kopi, dan saling meminta maaf. Mungkin karena terlalu kasar atau terbawa emosi saat masa-masa kampanye,” tutur pria yang akrab disapa Romo Magnis itu dalam diskusi di Jakarta, Senin (15/4).

Dia mencontohkan, adanya beberapa kelompok yang sempat menyinggung atau memakai bahasa yang kurang pantas--diistilahkannya sebagai "bahasa pemusnah." Misalnya, mereka yang memanggil kubu lain dengan sebutan-sebutan yang tak baginya pantas.

“Kalau kubu-kubu politik disebut sebagai partai Allah dan partai Setan, maka rasanya tidak mungkin mereka dapat menerima perbedaan satu sama lain. Karena, yang mereka inginkan hanya kata menang dan kalah,” kata pria berusia 82 tahun itu.

Lahirnya kubu-kubu politik, lanjut dia, sejatinya tidak perlu membahayakan atau membawa risiko perpecahan. Masyarakat Indonesia dinilai telah mampu menempatkan diri serta tidak mudah terpicu pertikaian hanya karena perbedaan pendapat.

“Masyarakat pasti bisa membawa diri dan tidak pernah berakhir pada pertikaian yang menjatuhkan korban,” kata dia.

Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara ini menuturkan, intoleran bukanlah sifat khas Indonesia. Sifat itu bukan pula masalah suatu agama. Namun, nilai-nilai Pancasila yang diterapkan Indonesia sebagai dasar negara memiliki sejarah panjang. Hal itu menggambarkan kuatnya rasa toleransi bangsa Indonesia.

“Indonesia adalah negara mayoritas Islam, maka sikap Islam sangat tepat, dalam hal ini tokoh tokoh Islam yang berperan dalam kemerdekaan, yang bersedia tidak memberi kedudukan khusus apapun kepada agama Islam sebagai mayoritas. Dan itu adalah prestasi yang luar biasa,” papar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement