Selasa 12 Mar 2019 06:17 WIB

Abdul Kahar Muzakkir, Pendiri Universitas Islam Indonesia

Prof KH Abdul Kahar Muzakkir memperjuangkan kemajuan umat Islam di bidang pendidikan.

Prof KH Abdul Kahar Muzakkir
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
Prof KH Abdul Kahar Muzakkir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di luar dunia politik, KH Abdul Kahar Muzakkir juga aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan Islam di Indonesia. Bersama dengan Mohammad Hatta, dia merintis Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8 Juli 1945. Kelak, lembaga perguruan tinggi ini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). KH Abdul Kahar Muzakkir merupakan rektor pertamanya.

Baca juga: Abdul Kahar Muzakkir, Ulama yang Ikut Rumuskan Pancasila

Baca Juga

Dalam masa kepemimpinannya, kurikulum STI mulai mencontoh kurikulum Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Awalnya, STI berlokasi di Jakarta. Ada pula asrama mahasiswa STI di Balai Muslimin, Jalan Kramat Raya.

Akan tetapi, saat masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, situasi di ibu kota menjadi kacau. Pasukan Sekutu, yang juga memboncengi Belanda, menguasai Jakarta. Gedung-gedung STI pun ikut direbutnya. Pada 10 April 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta—mengikuti perpindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.

KH Abdul Kahar Muzakkir terus aktif mengupayakan lembaga ini beroperasi secara optimal. Di Yogyakarta, dia juga ikut mendukung pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Belakangan, perguruan tinggi itu berubah menjadi institut dan sekarang merupakan sebuah universitas Islam negeri (UIN) Sunan Kalijaga.

Belanda bersikeras ingin menjadikan Indonesia sebagai tanah jajahan kembali. Mereka terus menggempur basis-basis kekuatan republik dengan dua kali melancarkan agresi militer.

Saat Yogyakarta disebu, Dwitunggal Sukarno-Hatta sampai ditangkap dan diasingkan ke sejumlah titik luar Jawa. Adapun kekuatan militer Indonesia yang tersisa terus berjuang di hutan-hutan atau pedalaman, memberikan perlawanan terhadap Belanda. Dalam masa inilah, KH Abdul Kahar Muzakkir menyokong perjuangan antara lain dengan turut serta dalam Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta.

Pada 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Sesudah itu, masa relatif tenang bagi negara ini untuk bangkit dari keterpurukan. Dunia politik dalam negeri pun mulai bergeliat. Partai-partai berkembang dengan ideologi masing-masing. Masyumi, kendaraan politik yang dipilih KH Abdul Kahar Muzakkir, termasuk yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Sukarno, khususnya setelah rezim itu dekat dengan Partai Komunisme Indonesia (PKI).

Sukarno semakin jauh melenceng dari prinsip-prinsip demorkasi dalam menjalankan kekuasaannya. Konstituante sampai-sampai dibubarkannya pada 1959. Pada gilirannya, Masyumi juga mengalami kesewenangan rezim Orde Lama. Partai ini dibubarkan, bersama dengan beberapa partai lain.

Para pemimpinnya sempat mengalami penjara sebagai tahanan politik. Setelah Masyumi bubar, beberapa tokohnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), sebagai ajang kaderisasi dai ke seluruh Indonesia. KH Abdul Kahar Muzakkir duduk sebagai anggotanya.

KH Abdul Kahar Muzakkir wafat dalam usia 65 tahun. Sampai sekarang, banyak pihak, utamanya Muhammadiyah, yang menginginkan agar tokoh tersebut diakui negara sebagai seorang pahlawan nasional.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement