Rabu 20 Mar 2019 17:10 WIB

Kiai Subchi, Ulama yang Pejuang 'Bambu Runcing'

Kiai Subchi membacakan doa Bismillahi Ya hafizh, Allahu Akbar.

Rep: Muhyiddin/ Red: Hasanul Rizqa
kh subchi
Foto: tangkapan layar google
kh subchi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran ulama melawan penjajah sungguh menginspirasi masyarakat luas. Mereka turut menggerakkan dan menggelorakan semangat para pemuda untuk berjuang melawan panjajah, khususnya pemuda yang berasal dari kalangan santri.

Para ulama tersebut berkontribusi secara pemikiran maupun langsung terjun ke lapangan untuk menyiapkan kekuatan melawan penjajah. Salah satu kiai pejuang yang ikut membangun kekuatan itu adalah KH Subchi, pengasuh Pondok Pesantren Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

Baca Juga

Sang alim kerap dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing karena dia memberikan doa-doa khusus untuk senjata bambu runcing yang digunakan para pejuang kemerdekaan. Dengan bekal bambu runcing itu, para pemuda berani tampil di garda depan bertarung dengan musuh.

Bambu runcing merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perang kemerdekaan. Senjata ini terbuat dari sebilah bambu yang ujungnya diruncingkan. Senjata ini dipakai pada saat melawan penjajahan kolonial Belanda.

Di tengah serangan-serangan penjajah yang menggunakan senjata modern, bambu runcing menjadi salah satu senjata yang realistis yang bisa diharapkan saat itu.

Seorang musuh yang terkena tusukan bambu runcing tersebut tidak akan mati saat itu juga, tapi bisa berhari-hari kemudian, bahkan berbulan-bulan. Karena itu, senjata tradisional ini cukup dita kuti oleh tentara Belanda karena bisa merasakan sakit yang menyiksa sebelum kematiannya.

Bambu runcing saat itu juga sangat menguntungkan untuk membunuh lawan secara senyap karena tidak menimbulkan bunyi seperti halnya senjata api.

Pemberian doa-doa Kiai Subchi untuk bambu runcing tersebut telah diceritakan sekilas dalam buku berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974) karya menteri agama era Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa ketika terjadi perlawanan di Surabaya pada 10 November 1945, hampir bersamaan dengan Hari Pahlawan, rakyat Semarang juga melakukan perlawanan terhadap tentara sekutu.

Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan sekutu. Kabar pecahnya peperang an di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Kemudian, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lainnya.

Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke lokasi pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun, sebelum berangkat, mereka singgah lebih dulu ke Kawedanan Parakan untuk memperkuat diri dengan berbagai macam ilmu kekebalan dari Kiai Subchi.

Sementara, untuk senjata bambu runcing yang akan mereka gunakan, Kiai Subchi membacakan doa Bismillahi Ya hafizh, Allahu Akbar. Doa tersebut berarti: Dengan nama Allah, Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Mahabesar.

Doa khusus untuk bambu runcing itu pun menambah keyakinan para pejuang untuk berani mati melawan penjajah. Hingga akhirnya, mereka bisa meraih kemerdekaan. Untuk menghor mati jasa mereka, senjata bambu runcing itu pun dijadikan monumen di jantung Kota Surabaya, tepatnya di Jalan Panglima Sudirman.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement