Jumat 01 Mar 2019 17:31 WIB

MUI Apresiasi Fatwa Haram NU Atas Bisnis MLM

DSN-MUI pernah mengeluarkan fatwa tentang bisnis MLM.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Hasanul Rizqa
Oni Sahroni, Anggota DSN-MUI
Foto: Dokpri
Oni Sahroni, Anggota DSN-MUI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiyyah di Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) merekomendasikan money game dan multi-level marketing (MLM) sebagai bisnis yang haram. Terkait itu, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Oni Sahroni, mengapresiasinya.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan, pihaknya juga pernah mengajukan fatwa senada, yakni MLM sebagai bisnis yang dilarang menurut ajaran Islam.

Baca Juga

"Saya kira pernyataan NU selaras dengan DSN. Mungkin yang dimaksud NU adalah sama dengan DSN, yaitu MLM yang tidak boleh karena tidak memenuhi kriteria," kata Oni Sahroni melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Jumat (1/3).

Oni menjelaskan, penjualan langsung berjenjang (MLM) adalah cara penjualan barang atau jasa melalui pemasaran yang dilakukan perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut. Menurut dia, ada sejumlah kriteria dari MLM agar sesuai syariah.

Pertama, di dalamnya tidak termasuk money game. Kedua, tidak adanya skema piramida.

"Sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 9 tentang Perdagangan, pelaku usaha distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan barang," ujar dia.

Skema piramida merupakan kegiatan usaha dengan memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan. Profit didapatkan terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian.

Sementara itu, definisi money game adalah kegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan mitra yang baru bergabung kemudian. Artinya, bonus tadi diperoleh bukan dari hasil penjualan produk. Bahkan, produk yang dijual hanya kamuflase belaka atau kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

"Dalam bahasa fikih muamalah, money game ini memenuhi unsur gharar (kesamaran atau penipuan), maisir (perjudian), dan mukhatarah (pertaruhan)," papar dia.

Pada 2009 lalu, DSN-MUI mengeluarkan fatwa tentang pedoman penjualan langsung berjenjang syariah (PLBS). Di dalamnya diuraikan sejumlah rambu-rambu tambahan terkait MLM Syariah.

Pertama, ada objek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau jasa. Kedua, tidak ada mark-up berlebihan dan eksploitasi hingga merugikan konsumen karena kualitas barang atau jasa yang diperoleh tidak sepadan.

Ketiga, komisi yang diberikan perusahaan kepada anggota, baik besaran maupun bentuknya, harus berdasarkan pada prestasi kerja. Prestasi itu terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa. Hal yang sama juga harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS.

Keempat, bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi, sesuai dengan target penjualan barang atau jasa yang ditetapkan perusahaan.

Di antara skema yang bisa diberlakukan adalah skema bai'. Itu merujuk pada fatwa Nomor 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

Selanjutnya ada skema wakalah bil ujrah pada asuransi syariah, skema ju'alah tentang akad ju'alah, dan akad ijarah tentang pembiayaan ijarah.

"Dengan demikian, keutungan perusahaan di antaranya berupa margin jual beli. Sedangkan, pendapatan anggota adalah hadiah dari skema jualah atau fee dari skema ijarah atau wakalah bil ujrah atau margin dari skema jual beli," ujar dia.

Maka dari itu, Oni mengimbau masyarakat untuk dapat mengenali sebuah MLM sesuai dengan syariah atau tidak. Di samping itu, menurut dia, MLM tersebut juga harus memiliki sertifikat kesesuaian syariah dari DSN-MUI untuk memastikan pemenuhan aspek syariahnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement