Rabu 13 Mar 2019 07:28 WIB

Masjid Perahu Terinspirasi Kapal Nabi Nuh

Replika perahu ini tak seutuhnya selesai dibangun.

Sejumlah anak-anak bermain diarea Masjid Perahu atau Agung Al-Munada Baiturrahman, Jakarta, Rabu (14/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sejumlah anak-anak bermain diarea Masjid Perahu atau Agung Al-Munada Baiturrahman, Jakarta, Rabu (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah lebatnya belantara pencakar langit Jakarta ter selip sebuah oase yang teramat menyejukkan. Oase itu adalah Masjid Al Munada Darussalam. Berlokasi di bilangan Casablanca, Tebet, Jakarta Selatan, masjid ini sama sekali tak tampak keberadaannya dari jalan raya.

Ia seolah bersembunyi di balik bangunan-bangunan baru bergaya modern yang menyesaki kawasan itu. Untuk menjang kaunya jamaah ataupun peng unjung harus melewati lika-liku gang yang hanya cukup bagi pejalan kaki dan satu motor.

Meski secara resmi bernama Al Munada Darussalam, masjid ini punya nama lain yang lebih tersohor, yakni Masjid Perahu. Mengapa disebut Masjid Perahu? Bukankah masjid ini tak berada di tepi pantai atau pelabuhan? Rupanya, persis di sebelah kanan masjid terdapat bangunan replika perahu, sehingga masyarakat pun langsung menamakan masjid ini sebagai Masjid Perahu.

 

Perahu sepanjang sekitar 12 meter ini difungsikan sebagai tempat wudhu. Di bagian kiri untuk tempat wudhu laki-laki dan sebelah kanan untuk perempuan. Lantai atas perahu dimanfaatkan sebagai ruang untuk penjaga dan pengurus masjid. Sed angkan lambung pe rahu, tepatnya di ujung depan, terdapat satu ruang kecil untuk ber zikir.

Lantas, mengapa harus perahu?

Ternyata, bangunan perahu ini memiliki filosofi sendiri, yakni sebagai visualisasi dari kapal Nabi Nuh AS. Meski sang pendirinya KH Abdurrahman Maksum adalah seorang pelaut, tetapi bukan karena itu masjid ini dinamakan Masjid Perahu. Namun, lebih dikarenakan sikap Kiai Abdurrahman Maksum yang mengagumi Nabi Nuh AS saat menyelamatkan umatnya dengan membangun kapal besar.

Sayangnya, replika perahu ini tak seutuhnya selesai dibangun. Ada satu bagian dari badan perahu yang belum sempat dibangun karena tak sempat lagi melakukan pembebasan tanah. Tanah yang seharusnya menjadi lahan pijakan bagian belakang perahu lebih dulu dibangun menjadi halaman sebuah apartemen.

Masjid yang berdiri di atas tanah wakaf seluas 1.500 meter ini dibangun oleh KH Abdurrahman Maksum pada 1963. Sedangkan pelaksanaan pembangunannya dilakukan secara gotong royong oleh ratusan warga setempat. Tak heran, untuk menegakkan seluruh ke rang ka masjid konon hanya dibutuhkan waktu semalam saja.

Arsitektur masjid ini tak meniru atau mengadopsi gaya tertentu. Desain kubah, atap, hingga interior masjid merupakan gabungan dari ragam budaya masyarakat Indonesia. Kubah, misalnya, cukup unik karena berbentuk kukusan (peranti untuk menanak nasi) tumpuk dua. Di antara kukusan lapis pertama dan kedua terdapat gantungan logam emas sebanyak 99 keping.

Menurut Machmud Yunus, salah satu pengurus Masjid Perahu, jumlah 99 tersebut melambangkan nama-nama Allah SWT. ‘’Itu logam emas asli karena itu saat ini diberi peng aman berupa pagar,’’ tutur dia.

Pada sisi kanan dan kiri atap terdapat ornamen gapura. Sekilas tampak seperti simbol-simbol khas Kalimantan. Namun jika dicermati lebih dekat, untaian garis-garis yang membentuk gapura itu adalah huruf Hijaiah, yakni huruf lam, mim, dan kha. Gapura ini berwarna putih bersih.

Sedangkan di ketiga sisi pintu masuk dihiasi pilar yang berjumlah lima buah. Ini melambangkan lima rukun Islam. Sejak awal dibangun pada 1963, pilar ini belum meng alami perbaikan sama sekali. Masih asli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement