Senin 04 Mar 2019 15:26 WIB

PBNU: Pembahasan Kafir Kelanjutan Muktamar NU 1930

Terma kafir yang bersifat teologis menjadi masalah di area publik di Indonesia.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Munas NU. Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang dihadiri para ulama NU, Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Ilustrasi Munas NU. Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang dihadiri para ulama NU, Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Sulton Fathoni mengatakan, pembahasan tentang istilah kafir sebenarnya merupakan kelanjutan dari Muktamar NU tahun 1930 di Pekalongan Jawa Tengah. Istilah 'kafir' ini menjadi pembicaraan hangat di masyarakat setelah Mahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Banjar, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Mahtsul Masail NU menghasilkan keputusan untuk tidak menyebut kafir bagi seorang non-Muslim di Indonesia. "Pembahasan terma kafir dan non-Muslim ini sebagai kelanjutan dari kajian tentang terma kafir yang sebelumnya sudah dibahas para kiai pada saat Muktamar NU tahun 1930," ujar Sulton yang disampaikan melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Senin (4/3).

Perbedaannya, dia mengatakan, pada Muktamar NU 1930 para kiai membahas terma kafir dalam perspektif teologis. Sedangkan pada Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 di Citangkolo, para kiai menuntaskan pembahasan tentang 'kafir' dalam perspektif kebangsaan dan ke-Indonesia-an. 

"Penuntasan pembahasan terma kafir perspektif teologis dan ke-Indonesia-an ini tentu melegakan. Bayangkan, pembahasan terma kafir yang dimulai sejak 1930 baru tuntas pada 2019 sehingga setidaknya ada rentang waktu selama 89 tahun," ucap Sulton.

Karena itu, ia mengatakan, pertanyaan yang menggelitik adalah, sejauh mana tingkat kerumitan terma ‘kafir’ hingga para kiai baru berhasil menuntaskannya?  Bagi para kiai, jelas Sulton, sebenarnya cukup mudah membahas terma kafir atau non-Muslim.

Namun, tingkat kesulitannya ternyata bukan pada proses pembahasan kedua istilah tersebut. Kesulitan justru terjadi pada proses penemuan kasus kafir dalam ranah kebangsaan dan ke-Indonesia-an. 

"Terma kafir yang pada awalnya bersifat teologis kemudian ditemukan menjadi problem saat berada di area publik, yaitu ketika masyarakat berkumpul dalam sebuah entitas bangsa dan begara yaitu Indonesia," kata Sulton. 

Karena itu, dia mengatakan, keputusan para kiai di Citangkolo tentang 'kafir' tersebut merupakan upaya menyelesaikan problem kebangsaan dan kenegaraan yang muncul karena realitas sosial masyarakat yang masih terganggu saat akan beragama dengan bebas, tenang, dan damai. "Para kiai berkumpul itu untuk memastikan bahwa NU hadir di setiap problem kemasyarakatan untuk memberikan solusi penyelesaiannya perspektif ke-Islam-an," jelas Sulton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement